“Ketika Hukum Tak Lagi Adil”: Suara Masyarakat Kecil yang Mulai Tenggelam

Bagikan Artikel

Oleh: Yuli Maria Tuke *)

Dalam beberapa waktu terakhir, kita kembali dihadapkan pada kenyataan pahit: kekerasan yang dilakukan aparat terhadap warga terus meningkat. Catatan terbaru KontraS mengungkap adanya 602 peristiwa kekerasan dari Juli 2024 hingga Juni 2025. Dari jumlah itu, 411 adalah kasus penembakan, 38 penyiksaan, dan 37 pembunuhan di luar hukum. Belum termasuk 44 salah tangkap serta puluhan pembubaran aksi dan penangkapan aktivis yang berdampak pada lebih dari seribu orang dari berbagai kalangan. Angka-angka ini bukan sekadar statistik di atas kertas; di baliknya ada wajah-wajah ketakutan, keluarga yang kehilangan, dan rasa aman yang perlahan hilang.

Masalah sesungguhnya yang ingin saya soroti adalah ketimpangan dalam penegakan hukum. Hukum di negeri ini, bukannya berlaku setara, kerap terasa tajam ke bawah, tumpul ke atas. Warga biasa bisa diproses tanpa ampun, sementara aparat yang melanggar sering lolos tanpa hukuman tegas. Ketika kekerasan aparat bukan lagi kasus terisolasi melainkan bagian dari pola berulang, kita harus bertanya dengan serius: hukum ini bekerja untuk siapa?

Yang paling terdampak dari situasi ini bukan hanya aktivis atau kelompok kritis. Justru yang sering menjadi korban adalah mereka yang paling tidak berdaya—pengendara ojek yang kehilangan nyawa di jalan, pelajar yang hanya ikut aksi menuntut keadilan, atau warga yang salah tangkap dan harus menanggung stigma seumur hidup. Mereka tidak punya akses ke jasa hukum mahal, apalagi kekuasaan untuk melawan. Mereka adalah rakyat kecil yang suaranya tenggelam di tengah bisingnya narasi kekuasaan.

Jika kita telusuri lebih dalam, ketidakadilan ini lahir dari impunitas yang mengakar kuat. Mekanisme pengawasan internal lemah, proses hukum tak transparan, dan sanksi yang dijatuhkan—kalau pun ada—lebih sering hanya formalitas. Ketika yang seharusnya melindungi justru menjadi ancaman, masyarakat pun kehilangan kepercayaan terhadap negara. Dan lebih mengerikan lagi, ketika masyarakat terbiasa hidup dalam ketakutan, kekerasan akhirnya dianggap wajar. Itulah saat di mana kita benar-benar dalam bahaya.

Di titik ini, diam bukan lagi pilihan. Impunitas tidak akan hilang jika kita tidak menuntut perubahan. Reformasi kepolisian, penguatan sistem pengawasan, dan penegakan hukum yang transparan serta adil adalah langkah mendesak. Negara harus menegaskan bahwa tidak ada yang kebal hukum—termasuk aparat itu sendiri.

Sebagai mahasiswa, saya merasa terpanggil untuk menyuarakan ini. Ketidakadilan hukum bukan sekadar merugikan korban, tapi menghancurkan fondasi kepercayaan masyarakat. Hukum seharusnya berpihak pada kebenaran, bukan pada siapa yang berkuasa. Dan kalau rakyat kecil terus menjadi korban tanpa perlindungan, kita sedang menuju masa depan di mana hukum hanya berfungsi sebagai tameng kekuasaan, bukan pelindung rakyat.

Pada akhirnya, keadilan adalah pilar negara. Kita boleh berbeda pandangan politik atau pilihan ekonomi, tapi satu hal pasti: negara tidak akan kuat jika rakyatnya takut pada polisi, bukan percaya. Perubahan memang tidak mudah, tapi selalu dimulai dari keberanian mengakui ada yang salah dan keinginan memperbaikinya—meski satu langkah kecil sekalipun.

*) Penulis adalah mahasiswa Ukrida Jakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *