Oleh: Milkha Aprilya Wijaya
Pada awal Desember 2025, ribuan kepala desa berkumpul di kawasan Monumen Nasional, Jakarta. Mereka datang dengan kegelisahan yang seragam: dana desa belum juga cair. Aksi itu bukan sekadar unjuk rasa administratif, melainkan ekspresi kecemasan atas terhambatnya roda pemerintahan di tingkat paling dasar.
Sumber persoalan terletak pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2025. Aturan ini mengatur penyaluran Dana Desa tahap II non-earmark dengan sejumlah prasyarat tambahan. Akibatnya, dana sekitar Rp250 juta per desa tertahan hingga enam bulan. Bahkan, dana berpotensi tidak cair sama sekali jika persyaratan administratif tidak terpenuhi hingga pertengahan September. Bagi desa-desa dengan kapasitas sumber daya terbatas, ketentuan ini berubah menjadi penundaan pembangunan dan layanan publik.
Di saat yang hampir bersamaan, tekanan ekonomi juga dirasakan kelompok lain: kelas menengah. Data resmi menunjukkan upah buruh hanya naik tipis, jauh tertinggal dari lonjakan biaya hidup, terutama di kota-kota besar. Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai menjadi 12 persen serta pemotongan gaji untuk program Tabungan Perumahan Rakyat menambah beban rumah tangga yang penghasilannya nyaris tak bergerak.
Gejala ini tercermin dari menyusutnya jumlah kelas menengah dalam beberapa tahun terakhir. Jutaan orang perlahan turun kelas—tidak cukup miskin untuk menerima bantuan sosial, tetapi juga tidak cukup kuat untuk menyerap guncangan ekonomi. Mereka terjebak di ruang abu-abu kebijakan.
Masalah dana desa dan tekanan kelas menengah tampak berdiri sendiri, tetapi sesungguhnya saling berkait. Keduanya lahir dari desain kebijakan fiskal yang kurang sensitif terhadap keragaman kapasitas sosial. Di desa, tuntutan akuntabilitas diperketat tanpa pendampingan yang memadai. Di kota, konsumsi dibebani pajak, sementara perlindungan pendapatan stagnan.
Pemerintah tentu memiliki alasan memperkuat pengawasan dana publik. Transparansi dan akuntabilitas adalah kebutuhan mutlak. Namun, ketika regulasi diterapkan seragam tanpa mempertimbangkan kesiapan pelaksana, yang muncul justru stagnasi. Di banyak desa, proyek tertunda, honor tenaga layanan tersendat, dan kegiatan ekonomi lokal melambat.
Di sisi lain, tekanan terhadap kelas menengah menyimpan risiko yang lebih luas. Konsumsi rumah tangga adalah tulang punggung perekonomian nasional. Ketika kelompok ini terpaksa menahan belanja, pertumbuhan ekonomi pun ikut tergerus. Fenomena pekerja rentan—berpenghasilan rendah, tanpa kepastian kerja, dan minim perlindungan—kian menguat.
Persoalannya bukan sekadar angka anggaran atau rasio pajak, melainkan keadilan dalam distribusi beban. Desa dan kelas menengah sama-sama sering luput dari radar bantuan, tetapi paling cepat merasakan dampak kebijakan. Jika kondisi ini berlanjut, jurang ketimpangan akan semakin melebar, sekaligus melemahkan fondasi sosial ekonomi.
Solusi yang dibutuhkan bukan pembatalan kebijakan secara serampangan, melainkan koreksi yang proporsional. Untuk dana desa, fleksibilitas mekanisme pencairan perlu disertai pendampingan administratif yang serius. Transparansi tetap dijaga, tetapi tidak mematikan fungsi dasar pemerintahan desa.
Sementara itu, kebijakan fiskal seperti kenaikan PPN semestinya diterapkan dengan perlindungan yang jelas bagi kebutuhan pokok. Program Tabungan Perumahan Rakyat perlu dirancang lebih progresif agar tidak membebani pekerja berpendapatan rendah. Dukungan terhadap UMKM dan pekerja informal harus diperluas, bukan sekadar dijanjikan.
Gelombang protes kepala desa dan menyusutnya kelas menengah seharusnya dibaca sebagai sinyal peringatan. Pertumbuhan ekonomi yang tidak diimbangi pemerataan akan rapuh dan mudah goyah. Tantangan pemerintah bukan hanya menjaga disiplin fiskal, tetapi memastikan kebijakan ekonomi benar-benar bekerja bagi mereka yang menjalankan negara ini dari bawah—di desa, di kota, dan di antara keduanya.
Penulis adalah Mahasiswa Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA) Jakarta, Program Studi Psikologi