Oleh: Monica Novalia
Belakangan ini, berita tidak lagi sekadar menyampaikan peristiwa. Ia hadir sebagai pantulan kegelisahan publik yang kian terasa dalam kehidupan sehari-hari. Tekanan ekonomi, naiknya biaya hidup, persoalan pendidikan, hingga kebijakan pemerintah yang menuai perdebatan, menjadi rangkaian isu yang terus berulang di ruang publik.
Di tengah arus informasi yang deras, masyarakat berada dalam situasi serba tanggung. Berita dibutuhkan untuk memahami arah kebijakan dan kondisi negara, tetapi pada saat yang sama, pemberitaan yang minim konteks dan solusi justru menambah beban psikologis. Kelelahan informasi ini terutama dirasakan kelompok muda dan kelas pekerja yang sedang berjuang membangun masa depan di tengah ketidakpastian.
Masalahnya bukan semata pada isi berita, melainkan pada jarak antara narasi yang disampaikan dan realitas yang dialami. Ketika angka pertumbuhan ekonomi diumumkan, sementara harga kebutuhan pokok terus naik dan lapangan kerja makin sempit, publik merasakan ketimpangan antara optimisme resmi dan pengalaman nyata. Di situlah benih ketidakpercayaan tumbuh.
Media memiliki posisi penting dalam situasi ini. Ia seharusnya menjadi penghubung antara suara warga dan pengambil kebijakan. Namun, tidak sedikit pemberitaan yang terjebak pada konflik elite, sensasi, atau kutipan normatif pejabat. Akibatnya, suara masyarakat akar rumput kerap hilang di tengah riuh politik dan kepentingan ekonomi.
Di sisi lain, pemerintah juga dihadapkan pada ujian kepekaan. Kegelisahan yang muncul di media dan media sosial seharusnya dibaca sebagai sinyal, bukan ancaman. Respons yang defensif atau sekadar formal justru memperlebar jarak antara negara dan warga. Kritik publik bukan tanda pelemahan, melainkan cermin yang menunjukkan area kebijakan yang perlu diperbaiki.
Masyarakat pun tidak sepenuhnya lepas dari tanggung jawab. Di era digital, kemampuan memilah informasi menjadi kunci. Tidak semua berita mencerminkan fakta secara utuh, dan tidak semua opini berangkat dari kepentingan publik. Literasi media menjadi benteng agar kegelisahan tidak berubah menjadi kepanikan kolektif atau polarisasi sosial.
Berita yang sehat semestinya membuka ruang dialog, bukan sekadar memancing emosi. Ia perlu memberi konteks, menghadirkan beragam sudut pandang, dan membantu publik memahami persoalan secara lebih utuh. Dengan begitu, informasi dapat menjadi alat pemberdayaan, bukan sumber ketakutan.
Maraknya berita yang memicu kegelisahan publik sejatinya menandai adanya persoalan mendasar yang belum terselesaikan. Selama kebijakan belum sepenuhnya menyentuh kebutuhan riil masyarakat, kegelisahan itu akan terus muncul dalam berbagai bentuk pemberitaan. Tantangannya bukan hanya mengelola arus informasi, tetapi menjawabnya dengan kebijakan yang adil, transparan, dan berpihak pada kepentingan bersama.
Empati menjadi kata kunci. Ketika berita dan kebijakan hanya dibangun dari sudut pandang kekuasaan atau angka makro, masyarakat merasa terpinggirkan dari cerita tentang negaranya sendiri. Padahal, realitas sosial hidup dalam pengalaman sehari-hari: antrean panjang, biaya hidup yang menekan, ketidakpastian kerja, dan kecemasan akan masa depan.
Di sinilah media dapat berperan sebagai ruang refleksi kolektif. Opini publik tidak seharusnya dianggap gangguan, melainkan penunjuk arah. Negara yang kuat bukan negara yang kebal kritik, tetapi negara yang mampu belajar dari suara warganya.
Pada akhirnya, berita adalah potret relasi antara media, negara, dan masyarakat. Jika ketiganya berjalan sendiri-sendiri, yang lahir adalah kebisingan. Namun jika berita menjadi ruang dialog yang jujur, didukung kebijakan yang responsif dan publik yang kritis, informasi dapat menjadi kekuatan untuk memperbaiki keadaan.
Di tengah derasnya arus berita hari ini, yang dibutuhkan bukan semata kecepatan, melainkan keberpihakan pada kebenaran dan kemanusiaan. Sebab berita, pada akhirnya, bukan hanya tentang apa yang terjadi, melainkan tentang bagaimana sebuah bangsa memilih untuk merespons dan melangkah ke depan bersama.
Penulis adalah mahasiswa Program Studi Psikologi Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA), Jakarta.