Oleh: Florencia Irena Lie, Regina Alviona, Milkha Aprilya Wijaya
Masih rendahnya kemampuan literasi anak menjadi tantangan besar dalam pendidikan di Indonesia. Tidak semua anak memiliki kesempatan yang sama untuk mengenal huruf, membaca, dan menulis sejak usia dini. Kesenjangan literasi ini terutama dialami oleh anak-anak yang hidup dalam kondisi sosial dan ekonomi rentan, dengan akses terbatas terhadap pendidikan formal dan bahan bacaan yang memadai.
Persoalan literasi bukan hanya terjadi di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) secara geografis. Di kota besar sekalipun, anak-anak dari lingkungan marjinal menghadapi hambatan serupa. Fasilitas belajar yang terbatas, minimnya pendampingan, serta kondisi keluarga yang kurang mendukung membuat sebagian anak tumbuh tanpa pengalaman literasi yang cukup.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa rendahnya literasi berkaitan erat dengan keterbatasan akses buku, rendahnya frekuensi membaca, dan minimnya stimulasi belajar sejak dini. Anak yang tidak terbiasa membaca dan mengenal huruf akan kesulitan mengikuti pelajaran di sekolah dan seringkali memiliki kepercayaan diri rendah. Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi memperlebar kesenjangan pendidikan dan menghambat pengembangan potensi anak.
Menjawab tantangan ini, literasi perlu dipandang lebih luas dari sekadar membaca dan menulis. Kegiatan literasi juga harus mampu menumbuhkan minat belajar dan rasa percaya diri anak. Pendekatan yang interaktif, sederhana, dan dekat dengan kehidupan sehari-hari anak terbukti lebih efektif membangun pengalaman belajar yang positif.
Kesadaran ini mendorong mahasiswa untuk terlibat dalam kegiatan literasi sebagai bentuk pengabdian masyarakat. Kegiatan ini dilaksanakan di sekitar Stasiun Manggarai, menargetkan anak-anak sekolah dasar yang memiliki keterbatasan akses pendidikan. Program literasi dirancang untuk mengenalkan huruf, membaca, dan menulis melalui suasana belajar yang hangat, santai, dan menyenangkan.
Selama tiga minggu, kegiatan dilaksanakan secara bertahap. Awalnya, mahasiswa melakukan observasi untuk memahami kemampuan literasi dasar anak-anak. Banyak yang belum mengenal huruf secara lengkap dan belum bisa mengaitkan bentuk huruf dengan bunyinya. Minat belajar dan kepercayaan diri anak juga masih rendah, sehingga mereka cenderung ragu untuk mencoba membaca.
Temuan ini menjadi dasar kegiatan selanjutnya. Anak-anak mulai dikenalkan pada huruf, membaca bersama, menulis sederhana, dan membaca buku cerita. Pembelajaran dilakukan secara interaktif dan personal, menyesuaikan kemampuan masing-masing anak. Tujuannya agar mereka merasa nyaman dan tidak tertekan saat belajar.
Seiring berjalannya kegiatan, anak-anak menunjukkan perubahan positif. Mereka lebih antusias, berani mencoba membaca, dan penasaran dengan huruf maupun kata baru. Beberapa yang sebelumnya belum mengenal suara huruf kini mulai mampu menyebutkan bunyi huruf dengan perlahan, meski masih membutuhkan pendampingan.
Selain minat belajar yang meningkat, kemampuan literasi dasar anak juga berkembang. Beberapa anak mulai membaca suku kata sederhana dan mencoba menulis huruf maupun kata secara mandiri. Mereka terlihat lebih percaya diri, aktif bertanya, dan lebih terbuka dalam berinteraksi selama proses belajar berlangsung.
Pengalaman ini membuktikan bahwa keterbatasan akses pendidikan bukan penghalang bagi anak untuk belajar. Dengan pendampingan yang tepat dan pendekatan humanis, anak-anak bisa menunjukkan potensi dan semangat belajar yang besar. Kegiatan literasi sederhana dan konsisten dapat menjadi fondasi awal membangun pendidikan yang kuat serta menanam bibit generasi emas, bahkan di tengah keterbatasan.
Tim Penulis adalah Mahasiswa Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA), Jakarta.