Oleh: Mardi Panjaitan *)
Di balik senyum polos dan tingkah sederhana anak-anak tunagrahita, ada dunia emosi yang sering kali tak terlihat oleh mata orang dewasa. Mereka dikenal memiliki keterbatasan intelektual, namun bukan berarti mereka tak punya perasaan. Mereka juga bisa merasakan cemas, stres, frustrasi, bahkan depresi — sama seperti anak-anak lainnya. Hanya saja, mereka sering kali belum mampu memahami atau mengungkapkan apa yang sebenarnya mereka rasakan.
Isu: Kesehatan Mental yang Terlupakan
Kesehatan mental anak tunagrahita masih menjadi sisi yang sering terabaikan. Pendidikan lebih banyak berfokus pada keterampilan akademik dan vokasional, sementara aspek emosional anak masih jarang tersentuh. Padahal, perilaku seperti mudah marah, agresif, takut berlebihan, atau menarik diri bisa jadi sinyal bahwa mereka sedang tertekan dan tidak dipahami oleh lingkungannya.
Kegagalan berulang, kurangnya penerimaan dari teman sebaya, atau perlakuan tidak sabar dari orang dewasa bisa membuat anak kehilangan rasa percaya diri. Lambat laun, mereka kehilangan semangat untuk belajar dan sulit menumbuhkan motivasi dari dalam dirinya.
Tantangan: Dari Lingkungan hingga Kesadaran
Tantangan terbesar datang dari kurangnya pemahaman guru dan keluarga tentang pentingnya kesehatan mental anak tunagrahita. Guru sering fokus pada target kemampuan, keluarga pada kemandirian, namun lupa menanyakan hal sederhana: “Bagaimana perasaan anak hari ini?”
Stigma sosial juga masih kuat. Banyak yang menganggap anak tunagrahita tidak peka atau tidak menyadari sekitarnya, padahal mereka sangat sensitif terhadap nada suara, ekspresi, dan sikap orang lain. Lingkungan yang keras, tidak sabar, dan penuh tuntutan justru membuat tekanan batin mereka semakin berat.
Implikasi Pendidikan: Sekolah Sebagai Ruang Pemulihan
Sekolah seharusnya bukan sekadar tempat belajar membaca atau berhitung, melainkan ruang pemulihan bagi anak-anak ini. Guru perlu memahami bahwa mengelola emosi adalah bagian dari proses belajar.
Melalui kegiatan sederhana seperti bermain peran, menggambar, bernyanyi, atau terapi seni, anak-anak bisa menyalurkan emosi dengan cara yang positif. Rutinitas yang konsisten, suasana yang aman, dan dukungan emosional membuat mereka merasa diterima dan berani mencoba.
Kerja sama antara guru dan orang tua menjadi kunci. Ketika rumah dan sekolah berjalan seirama dalam memberikan pujian, kesabaran, dan perhatian, anak tunagrahita akan tumbuh dengan lebih stabil — bukan hanya cerdas, tapi juga bahagia.
Pesan untuk Guru dan Keluarga
Kesehatan mental bukan sekadar istilah psikologis, tetapi kebutuhan dasar setiap anak. Anak tunagrahita mungkin tidak bisa berkata, “Saya sedih” atau “Saya takut,” namun mereka menunjukkan itu lewat sikap dan perilaku. Kita hanya perlu lebih peka membaca dengan hati, bukan sekadar dengan mata.
Mari jadikan setiap ruang belajar dan rumah sebagai tempat yang aman untuk tumbuh, belajar, dan dicintai tanpa syarat. Karena pendidikan sejati bukan hanya membuat anak mampu berpikir, tetapi juga mampu merasa.
Anak tunagrahita bukan hanya butuh diajari, tapi juga dipahami. Dari hati yang tenang, lahir semangat untuk belajar dan berkembang.
*) Penulis adalah Kepala SLB Negeri Pembina, dan saat ini sedang menempuh pendidikan Magister di Program Pasca Sarjana Jurusan Pendidikan Khusus Universitas Negeri Padang
Mantaap