Kecemasan Akademik di Balik Dinding Panti Asuhan

Bagikan Artikel

Oleh: Agnes Gabrille, Sinvia Then, dan Eben Haezer

Kecemasan akademik bukan lagi persoalan eksklusif siswa di sekolah unggulan atau keluarga mapan. Di Jakarta, perasaan cemas menghadapi pelajaran, tugas, dan ujian juga dialami anak-anak yang tumbuh di panti asuhan. Mereka menghadapi tekanan akademik yang sama, bahkan kerap lebih berat, di tengah keterbatasan dukungan personal dan situasi hidup yang tidak selalu ramah bagi proses belajar.

Secara sederhana, kecemasan akademik adalah rasa khawatir, takut, dan tegang yang muncul ketika seseorang berhadapan dengan aktivitas belajar. Pada kadar tertentu, kecemasan bisa menjadi pendorong untuk lebih giat. Namun, ketika berlangsung terus-menerus dan tak terkelola, ia justru menggerogoti konsentrasi, menurunkan kepercayaan diri, dan menghambat proses belajar. Bagi anak panti asuhan, kecemasan ini sering hadir dalam wujud takut gagal, gelisah menjelang ujian, sulit fokus, hingga perasaan tidak mampu ketika membandingkan diri dengan teman sebaya.

Lingkungan panti asuhan memiliki dinamika tersendiri. Pola pengasuhan kolektif membuat perhatian harus dibagi kepada banyak anak sekaligus. Pendampingan belajar secara individual sering kali terbatas, sementara tuntutan untuk berprestasi tetap ada. Tidak jarang, prestasi akademik dipandang sebagai bentuk pembuktian diri atau jalan keluar dari keterbatasan hidup. Di titik inilah tekanan akademik berlipat ganda. Ketika hasil belajar tidak sesuai harapan, kegagalan mudah dimaknai sebagai kelemahan pribadi, bukan sebagai bagian wajar dari proses belajar.

Dampaknya tidak hanya psikologis. Kecemasan akademik dapat menjalar ke ranah fisik dan perilaku: gangguan tidur, kelelahan, sakit kepala, menurunnya motivasi, hingga kecenderungan menghindari tugas sekolah. Jika dibiarkan, kondisi ini berpotensi berkembang menjadi stres akademik berkepanjangan yang memengaruhi kesehatan mental dan keberlanjutan pendidikan anak.

Sayangnya, sistem pendidikan masih lebih sering menyoroti nilai, peringkat, dan kelulusan ketimbang kondisi emosional peserta didik. Bagi anak panti asuhan, situasi ini menjadi tantangan ganda. Mereka dituntut berprestasi dalam sistem yang belum sepenuhnya memberi ruang aman untuk membicarakan kecemasan. Rasa cemas pun kerap dipendam, dianggap sebagai kelemahan, atau sesuatu yang sebaiknya disembunyikan.

Berangkat dari kondisi tersebut, penulis menyelenggarakan kegiatan psikoedukasi di salah satu panti asuhan di Jakarta. Sasaran kegiatan ini adalah remaja panti asuhan yang sedang menempuh pendidikan sekolah menengah atas. Tujuannya sederhana namun penting: membantu mereka memahami apa itu kecemasan akademik, mengenali sumber-sumbernya, dan mempelajari cara-cara dasar untuk mengelolanya dalam keseharian belajar.

Materi disampaikan dengan pendekatan komunikatif dan interaktif. Bahasa yang digunakan sengaja dibuat sederhana, dekat dengan pengalaman peserta: kecemasan menghadapi ujian, tugas yang menumpuk, dan rasa takut tidak memenuhi harapan lingkungan. Diskusi dan refleksi menjadi ruang aman bagi peserta untuk berbagi pengalaman tanpa takut dihakimi. Kegiatan ini didampingi pengurus panti asuhan agar proses berjalan kondusif dan berkelanjutan.

Untuk melihat dampak kegiatan, penulis menggunakan metode pre-test dan post-test. Sebelum psikoedukasi dimulai, sebagian besar peserta menunjukkan pemahaman yang terbatas. Kecemasan dipandang semata-mata sebagai hal negatif, tanpa disertai pengetahuan tentang cara mengelolanya. Setelah sesi selesai, hasil post-test menunjukkan peningkatan pemahaman yang cukup signifikan. Peserta mulai mampu mengenali kecemasan sebagai respons yang wajar dan memahami strategi sederhana untuk menghadapinya.

Perubahan tidak hanya terlihat pada angka. Selama kegiatan berlangsung, peserta tampak lebih terbuka, berani bertanya, dan mulai memandang tantangan akademik dengan sikap yang lebih realistis. Beberapa di antaranya mengaku merasa lebih tenang dan tidak lagi merasa sendirian. Pengurus panti asuhan pun menilai kegiatan ini membantu anak-anak memahami kondisi emosional yang selama ini sulit mereka ungkapkan.

Pada masa remaja, tuntutan akademik berjalan beriringan dengan proses pencarian jati diri. Kepercayaan diri, kebutuhan akan pengakuan, dan perubahan emosional membuat remaja lebih rentan terhadap tekanan. Dalam konteks panti asuhan, kerentanan ini semakin terasa karena keterbatasan dukungan emosional yang bersifat personal. Kecemasan akademik yang tidak ditangani berisiko membentuk konsep diri yang negatif dan terbawa hingga jenjang pendidikan berikutnya.

Psikoedukasi menawarkan pendekatan preventif yang relatif sederhana namun efektif. Melalui pengetahuan dan ruang berbagi, anak-anak belajar bahwa kecemasan bukan tanda kegagalan, melainkan sinyal yang bisa dipahami dan dikelola. Pendekatan kelompok juga membuka peluang terbentuknya dukungan sosial, faktor pelindung penting dalam menghadapi tekanan akademik.

Pengalaman psikoedukasi di panti asuhan Jakarta ini menunjukkan bahwa perhatian terhadap kesehatan mental bukanlah pelengkap, melainkan bagian inti dari proses pendidikan. Keberhasilan belajar tidak hanya ditentukan oleh kemampuan kognitif, tetapi juga oleh kesiapan mental dan emosional. Dengan intervensi yang tepat sasaran, anak-anak panti asuhan dapat menghadapi tantangan akademik dengan lebih adaptif dan percaya diri.

Ke depan, inisiatif serupa perlu didorong agar perhatian terhadap kesehatan mental semakin terintegrasi dalam praktik pendidikan, terutama bagi kelompok yang rentan. Kolaborasi antara sekolah, panti asuhan, tenaga pendidik, dan pihak kesehatan mental menjadi kunci. Pendidikan yang adil bukan hanya soal akses dan nilai, tetapi juga tentang memastikan setiap anak memiliki ruang aman untuk tumbuh, belajar, dan berharap.

Tim Penulis adalah Mahasiswa Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA), Jakarta, Program Studi Psikologi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *