Kawah Candradimuka Itu Bernama Perkamen

Bagikan Artikel

Menulis adalah kerja panjang. Ia menuntut disiplin, kesetiaan, dan keberanian berpikir.

Di Jalan Sei Merah No. 4, Medan—tepat di belakang Ramayana Pringgan yang kini berubah menjadi Mal Pelayanan Publik—setiap akhir pekan kami berkumpul. Bukan untuk nongkrong tanpa arah, apalagi sekadar menghabiskan waktu. Rumah sekretariat (lama) Perkantas itu adalah ruang penggemblengan. Kawah candradimuka bagi kami yang tergabung dalam Perkamen, Perhimpunan Suka Menulis.

Setiap Minggu sore, ada satu syarat tak tertulis namun mutlak: datang dengan tulisan. Tanpa itu, lebih baik tak hadir. Kami diberi waktu sepekan untuk memikirkan gagasan, menyusunnya, lalu menuliskannya. Soal bagus atau tidak, itu urusan belakangan. Yang utama: tulisan harus ada. Karena tanpa teks, tak ada yang bisa dibedah, diperdebatkan, apalagi dipertajam.

Sebagai mahasiswa saat itu, rasa malu tak bisa menulis jauh lebih menyakitkan daripada kritik atas tulisan yang buruk. Rasa malu menjadi mekanisme disiplin paling efektif. Kami menulis karena terpaksa, tetapi dari keterpaksaan itulah kebiasaan lahir. Setiap Minggu sore menjadi momen sakral—ide-ide kami dipreteli, diuji, dan sering kali dipatahkan. Tidak jarang sebuah tulisan terasa remuk setelah melalui proses editing dan diskusi. Namun justru di situlah kami ditempa.

Perlahan, kebiasaan itu membentuk ritme hidup. Saya mulai menulis setiap hari. Menulis apa saja. Diari menjadi ruang latihan paling jujur. Buku catatan kuliah saya penuh oleh cerita harian: pikiran, perasaan, kesalahan, harapan. Proses itu melatih ingatan, memperkaya kosa kata, dan membiasakan nalar mengalir dalam alur yang tertib. Di saat banyak orang enggan menulis satu paragraf pun, kami justru dipaksa akrab dengan kata-kata.

Kebiasaan lain yang tak terpisahkan adalah membaca koran. Sekretariat mahasiswa berlangganan Kompas. Setiap pagi koran itu diantar, sering kali masih terikat karet karena tak tersentuh. Saya membacanya sambil sarapan. Di warung-warung, saya melahap SIB, Waspada, Analisa, Sumut Pos, hingga koran-koran kuning. Rubrik favorit saya jelas: Opini. Dari sanalah saya belajar cara berpikir, sudut pandang, dan keberanian menyampaikan gagasan.

Di balik seluruh proses itu, ada satu figur sentral: Fotarisman Zaluchu—mentor kami di Perkamen.

Ia bukan sekadar pembimbing teknis menulis. Ia adalah penulis opini produktif di surat kabar nasional, penulis tajuk rencana, sekaligus penulis renungan. Buku-bukunya, seperti Pertarungan Kekuasaan dan Kain Lenan yang Kering, menunjukkan kedalaman pengalaman hidup yang panjang dan teruji.

Setiap minggu, ia hadir membimbing kami. Kata-katanya tidak pernah menggurui, tetapi selalu menohok. Ia mengajarkan bahwa menulis bukan soal kepiawaian merangkai kalimat, melainkan keberanian berpikir jujur. Bahwa tulisan yang kuat lahir dari pengalaman yang diolah, dibaca dengan luas, dan diuji dengan disiplin.

Di tangannya, tulisan kami sering terasa seperti kerupuk—mudah diremas. Tapi ia tidak pernah mematikan semangat. Kritiknya keras, namun adil. Idenya sering melampaui cara berpikir kami. Dari sanalah kami belajar keluar dari zona nyaman, berpikir out of the box, dan memahami bahwa proses menulis memang menyakitkan—namun perlu.

Hasilnya tidak instan. Tapi perlahan kami berubah. Dari gagap menjadi matang. Dari reaktif menjadi peka. Kami belajar membaca situasi, menambang isu, bernalar cepat, dan menulis dengan cekatan. Proses panjang itu berbuah manis. Ribuan tulisan saya terbit di media lokal dan nasional, cetak maupun digital. Menulis membawa saya berkeliling ke banyak tempat, bahkan hingga Australia. Puluhan lomba menulis saya ikuti dan menangkan. Piagam dan penghargaan menumpuk—lebih banyak tersimpan di gudang daripada dipamerkan.

Karena itu, ketika hari ini menulis terasa begitu mudah hanya dengan mengetik prompt di akal imitasi, saya percaya satu hal: penulis tanpa proses tidak akan bertahan lama. Mereka mungkin cepat muncul, tetapi cepat pula tersingkir. Seleksi alam kepenulisan tetap bekerja—menyingkirkan yang tidak militan, tidak teruji, dan enggan berlatih.

Menulis adalah kerja panjang. Ia menuntut disiplin, kesetiaan, dan keberanian berpikir. Dan semua itu, bagi kami, pertama kali dipelajari di sebuah rumah sederhana di Jalan Sei Merah—di bawah bimbingan seorang mentor yang mengajarkan bahwa kata-kata bukan untuk dipamerkan, melainkan untuk dipertanggung – jawabkan.

Penulis: Dedy Hu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *