Kasus Korupsi Laptop: Nadiem Tersangka, Kebenaran Harus Diutamakan

Bagikan Artikel

Bonarinews.com — Publik kembali dikejutkan oleh kabar: mantan Mendikbudristek sekaligus pendiri Gojek, Nadiem Makarim, resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan laptop Chromebook oleh Kejaksaan Agung. Program yang dulu digadang-gadang sebagai langkah besar digitalisasi sekolah kini justru berubah menjadi skandal besar yang mencoreng wajah pendidikan Indonesia.

Menurut Kejaksaan, spesifikasi laptop jenis Chromebook dipaksakan dan telah disusun sedemikian rupa agar menguntungkan pihak tertentu. Dugaan kerugian negara mencapai Rp1,98 triliun. Nadiem kemudian ditahan untuk 20 hari ke depan guna memperlancar penyidikan.

Kasus ini bukan sekadar soal teknis pengadaan, tetapi menyentuh langsung jantung persoalan bangsa: integritas kebijakan pendidikan dan masa depan anak-anak Indonesia.

Program pengadaan 1,1 juta laptop untuk lebih dari 77.000 sekolah awalnya dipuji sebagai langkah progresif dalam menjembatani kesenjangan digital. Namun, sejak awal program ini menuai kontroversi. Beberapa audit teknis menilai Chromebook tidak cocok digunakan di banyak sekolah pelosok yang masih kekurangan infrastruktur internet. Alih-alih fleksibel, kebijakan dianggap memaksa sekolah menyesuaikan diri pada produk tertentu.

Kini, tudingan itu seolah mendapat pembenaran. Dugaan adanya intervensi kepentingan bisnis dalam penentuan spesifikasi bukan hanya melanggar aturan, tapi juga menodai prinsip dasar kebijakan publik: kepentingan rakyat harus di atas segalanya.

Nadiem membantah. Ia menyatakan bahwa integritas dan kejujuran adalah nilai yang selalu ia pegang dalam hidupnya, dan berharap proses hukum dapat mengungkap kebenaran. Publik tentu patut menghormati asas praduga tak bersalah. Namun, kepercayaan rakyat pada keadilan hanya akan lahir bila penyidikan ini berjalan transparan, objektif, dan tanpa intervensi politik.

Kasus ini seharusnya menjadi momentum besar bagi bangsa. Pertama, pemerintah perlu melakukan audit independen untuk memastikan dana pendidikan kembali ke jalurnya. Kedua, reformasi menyeluruh dalam sistem pengadaan barang/jasa pendidikan harus segera dilakukan—bukan hanya soal aturan teknis, tetapi juga pengawasan yang melibatkan partisipasi publik. Ketiga, kasus ini harus menjadi pengingat bagi semua pejabat: digitalisasi pendidikan tidak boleh dijadikan komoditas bisnis yang merugikan generasi muda.

Editorial ini tidak bertujuan untuk menghakimi pribadi, tetapi menegaskan prinsip: jabatan publik adalah amanah, bukan arena keuntungan pribadi. Bila tuduhan benar, maka publik berhak atas pertanggungjawaban penuh. Bila tuduhan salah, maka kebenaran harus ditegakkan tanpa keraguan.

Pada akhirnya, pesan yang harus terus digaungkan adalah sederhana namun mendasar: kebenaran harus diutamakan, meski itu menyakitkan. Sejarah tidak akan memaafkan pemimpin yang berkompromi atas penderitaan rakyat. Dan bangsa ini tidak akan maju bila pendidikan—pilar masa depan—dikhianati oleh mereka yang seharusnya menjaganya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *