“Kabur Aja Dulu”: Ketika Harapan Anak Muda Mulai Redup

Bagikan Artikel

Oleh: Yuli Maria Tuke

Belakangan ini, media sosial dipenuhi dengan kalimat yang mencolok: “Indonesia gelap, kabur aja dulu.” Ungkapan ini muncul di berbagai platform seperti X (Twitter), TikTok, dan Instagram, menjadi simbol dari perasaan jenuh, kecewa, dan lelahnya anak muda menghadapi kondisi negeri sendiri. Di balik kata “kabur” tersimpan makna yang lebih dalam — bukan sekadar keinginan untuk pergi, tapi jeritan frustrasi terhadap realita sosial dan ekonomi yang semakin berat.

Banyak anak muda merasa terjebak dalam sistem yang tidak berpihak pada mereka. Mencari kerja semakin sulit, harga kebutuhan pokok terus naik, sementara peluang berkembang terasa makin sempit. Ketika usaha keras tidak sebanding dengan hasil yang didapat, muncul pertanyaan yang menyakitkan: “Apakah masih ada masa depan di negeri ini?” Maka, ungkapan “kabur aja dulu” menjadi bentuk keputusasaan kolektif, seolah harapan terhadap Indonesia perlahan memudar.

Namun, jika ditelaah lebih dalam, fenomena ini menyimpan persoalan besar yang tidak boleh dibiarkan.

Pertama, semangat “kabur” bisa membuat Indonesia kehilangan generasi terbaiknya. Anak muda yang cerdas dan berbakat mulai melirik peluang di luar negeri, merasa lebih dihargai di tempat lain. Mereka bosan dengan sistem yang tidak adil, gaji yang tidak sepadan, dan kesempatan yang sempit bagi mereka yang tidak punya “orang dalam.” Akibatnya, muncul fenomena brain drain — di mana otak-otak brilian justru membangun negara lain, bukan tanah kelahirannya sendiri. Jika hal ini terus dibiarkan, siapa yang akan menggerakkan kemajuan Indonesia di masa depan?

Kedua, “kabur” bukan solusi. Melarikan diri memang memberi rasa lega sesaat, tetapi tidak menyembuhkan akar persoalan. Korupsi, ketimpangan ekonomi, dan minimnya lapangan kerja tidak akan selesai jika semua yang peduli memilih pergi. Perubahan sejati hanya bisa lahir dari mereka yang berani bertahan, bersuara, dan memperbaiki keadaan dari dalam. Jika setiap anak muda yang kecewa memilih diam atau pergi, maka negeri ini akan terus terjebak dalam lingkaran gelap yang sama.

Ketiga, ungkapan “kabur aja dulu” bisa menumbuhkan sikap apatis terhadap bangsa sendiri. Rasa kecewa yang dibiarkan berlarut-larut membuat banyak orang kehilangan kepedulian. Mereka merasa tidak punya ikatan dengan tanah air, bahkan tidak lagi percaya bahwa perubahan bisa terjadi. Padahal, cinta pada negeri bukan tentang seberapa sempurnanya negara ini, tapi seberapa besar kemauan kita untuk memperbaikinya. Jika semangat cinta tanah air hilang dari hati anak muda, maka Indonesia benar-benar akan kehilangan arah.

Untuk itu, perlu langkah nyata dari semua pihak. Pemerintah harus membuka ruang yang lebih luas bagi anak muda untuk berkontribusi — menciptakan lapangan kerja yang layak, sistem pendidikan yang relevan, dan kebijakan yang mendukung inovasi, bukan mematikan semangat. Dunia kerja juga perlu berubah: hargai kemampuan, bukan koneksi. Dan masyarakat, khususnya generasi tua, seharusnya tidak meremehkan suara anak muda, tetapi mendengarkan mereka sebagai mitra perubahan.

Sebagai mahasiswa, saya percaya bahwa mencintai Indonesia bukan berarti menutup mata terhadap kekurangannya. Justru cinta sejati terlihat dari keberanian untuk tetap tinggal, berharap, dan memperbaiki keadaan. Kita mungkin lelah, tapi menyerah bukan pilihan. Karena perubahan besar selalu dimulai dari segelintir orang yang berani bertahan di tengah kegelapan.

Pada akhirnya, “kabur aja dulu” bukan sekadar kata-kata lucu di internet. Ia adalah cermin dari harapan yang mulai pudar. Namun, jika setiap anak muda memilih menyalakan cahaya — sekecil apa pun itu — Indonesia tidak akan benar-benar gelap. Harapan mungkin rapuh, tapi selama masih ada yang mau berjuang, negeri ini akan tetap punya masa depan.

(Penulis adalah Mahasiswa Psikologi Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta.)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *