Kabinet Bongsor, untuk apa?

Bagikan Artikel

Sehari setelah resmi dilantik menjadi Presiden ke-8 Republik Indonesia, Prabowo Subianto bersama Wapres Gibran langsung melantik para Menteri dan Kepala Lembaga yang akan membantu pemerintahannya.

Kabinet yang diberi nama kabinet Merah Putih ini sontak mendapat perhatian publik. Sebagian karena kabinet ini banyak diisi oleh nama yang sebelumnya juga menjabat sebagai Menteri pada kabinet Jokowi-Maaruf. Dan beberapa juga karena diisi nama-nama baru namun dianggap belum memilik track record di bidang yang ditugaskan.

Puncak perhatian ini karena kabinet ini terbilang sangat gemuk. Total ada 109 pejabat yang diangkat menjadi Menteri, wakil Menteri dan kepala Lembaga setingkat Menteri untuk mengisi kabinet Prabowo-Gibran.

Selain kursi Menteri meningkat tajam dari 34 menteri di kabinet Jokowi-maaruf menjadi total 48 Menteri di kabinet Prabowo-Gribran, kursi wakil Menteri juga membengkak dari 17 kursi menjadi 56 kursi pada kabinet merah putih.

Sejarah baru pun tercipta, Kabinet ini menjadi kabinet terbongsor pasca era Presiden Soekarno. Wajar kalau publik bertanya, Kabinet sebongsor ini untuk apa?

Boleh-boleh saja Presiden Prabowo beralasan bahwa kabinet gemuk ini dibutuhkan karena Indonesia memiliki jumlah penduduk dan luas wilayah yang tak sedikit. Tapi dalil ini teramat mudah dibantah.

Belajar dari Negara-negara yang memiliki jumlah penduduk dan luas wilayah yang relative sama atau bahkan lebih besar dibanding Indonesia, namun negara-negara tersebut malah memiliki kabinet yang jauh lebih ramping.

Sebut saja seperti AS, Rusia, China, India dan Brasil, jumlah penduduk dan luas wilayahnya bahkan mayoritas lebih besar dibanding Indonesia, tetapi jumlah kursi Menteri rata-rata dibawah 30 kursi.

Pembengkakan anggaran untuk membiayai Kabinet gemuk ini sudah pasti tidak terhindarkan. Di Tengah situasi ekonomi Indonesia yang sedang stagnan saat ini, Indonesia sebenarnya lebih membutuhkan dana segar yang digelontorkan pemerintah baik untuk Pembangunan, subsidi maupun dalam bentuk-bentuk lain yang bisa langsung dirasakan Masyarakat.

Semua ini dapat menjadi stimulus yang bisa menggerek perekonomian. Seharusnya pemerintah mengurangi secara drastis pembiayaan-pembiayaan yang sifatnya operasional atau yang tidak langsung menyentuh Masyarakat.

Kabinet gemuk juga dapat berpotensi menambah panjang daftar birokrasi karena harus banyak Kementerian/unit kerja yang mengurusi.

Belum lagi budaya masing-masing Kementerian yang doyan menerbitkan aturan-aturan baru, ini pun bisa antithesis terhadap rencana Prabowo Gibran yang ingin mempercepat Pembangunan dalam meningkatkan perekonomian, swasembada pangan, ketahanan energi, serta pengentasan kemiskinan.

Sejarah panjang bangsa ini menyatakan bahwa semakin banyak mengurusi, biasanya semakin kompleks, rumit dan bertele-tele. Mestinya, di tengah perkembangan teknologi dan digital, pilihan memecah-mecah Kementerian dan menambah kursi wamen, bukan lagi strategi utama.

Akan tetapi Prabowo dan Gibran sudah memutuskan demikian. Tinggal masyarakat menunggu dan mengawasi agar kinerja pemerintahan ini bisa seperti yang diharapkan. Mereka mungkin perlu diberi waktu untuk membuktikan kinerjanya.

Akan tetapi target yang terukur juga harus diberikan agar ada batas yang jelas, kapan akan dievaluasi dan dilakukan perbaikan. Jangan sampai tudingan banyak orang atas kabinet gemuk ini hanyalah bagi-bagi jabatan bagi koalisi gemuk yang mendukung pemenangan Prabowo-Gibran pada Pilpres sebelumnya menjadi tak terbantahkan.**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *