Joki dan Mentalitas Bangsa

Bagikan Artikel

Oleh: Vicky Rifai Adriansyah¹

Joki adalah sebuah istilah untuk seseorang yang menwarkan jasa menyelesaikan sesuatu hal. Istilah joki memang bukanlah istilah yang baru saja muncul, tetapi jasa joki saat ini kembali naik kepermukaan akibat adanya joki terbaru yang menjadi perbincangan hangat di sosial media yaitu joki berlari (strava).

Sebenarnya sudah banyak jasa joki yang pernah didiskusikan. Selain dari joki berlari di atas, dikenal juga joki antrian dalam pembelian tiket, bahkan mirisnya jasa joki dalam dunia pendidikan seperti joki masuk perguruan tinggi atau joki skripsi perkuliahan.

Kita miris bahwa ternyata banyak lulusan perguruan tinggi yang sebenarnya tidak mampu menyelesaikan pendidikannya dan malah menggunakan jasa joki untuk mengakali pendidikan kita. Banyaknya jenis jasa joki ini mengindikasikan berbagai aktivitas yang sesungguhnya orang–orang tidak ingin atau bahkan tidak mampu melakukannya, namun mereka mau memiliki kebanggaannya (pride) meski dengan jalan pintas yaitu menggunakan jasa joki.

Jasa joki berlari (strava) misalnya. Jasa joki ini muncul akibat trend berlari yang ada dan keinginan semua orang untuk ikut dalam trend itu sehingga mereka bisa mempostingnya pada sosial media milik mereka. Sayangnya ada orang yang tidak memiliki kemampuan untuk berlari, tetapi ingin memamerkannya.

Maka jasa joki berlari (strava) ini pun muncul. Kebanyakan jasa joki ini muncul dengan pola yang sama, yaitu manakala terdapat sebuah trend tertentu sehingga banyak orang yang ingin memamerkan sesuatu meskipun itu hanya seolah–olah kemampuannya.

Begitu pula dengan jasa joki masuk keperguruan tinggi bahkan menyelesaikan tugas skripsi mahasiswa. Para mahasiswa yang menggunakan jasa joki hanya ingin mendapatkan status sebagai almamater dari kampus dan menyandang gelar yang diberikan kepada mereka.

Karena mereka tidak memiliki kemampuan yang mumpuni, maka joki pun bermain. Mirisnya lagi adalah penyedia jasa joki ini biasanya berasal dari kalangan dosen atau orang dalam di sebuah universitas.

Pertanyaan kritis perlu kita majukan. Kenapa fenomena sosial ini ada dan malah naik daun pada era saat ini? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan menggunakan diskursus mengenai mentalitas orang Indonesia. Koentjaraningrat dalam bukunya menyebutkan bahwa salah satu kebiasaan orang Indonesia adalah suka menerabas.

Mentalitas suka menerabas ini adalah bahwa orang Indonesia sangat ingin mendapatkan hal tertentu (jabatan, level sosial, atau barang), sehingga melakukan segala cara untuk bisa mendapatkannya. Tidak jarang untuk mendapatkan hal tertentu itu, melakukan cara curang dalam prosesnya pun ditempuh.

Praktik ini sangat sering terjadi pada orang–orang Indonesia. Dalam buku yang sama, Koentjaraningrat menjelaskan sebuah mentalitas yang tidak dimiliki oleh orang Indonesia yaitu achivement oriented. Achivement oriented adalah sebuah mentalitas yang berpacu pada sebuah pencapaian diri.

Saat ini zaman berubah dengan sangat cepat. Saat ini banyak hal dianggap sebagai sebuah pencapaian. Entah itu gelar, jabatan, prestasi, atau pun sekedar target berlari. Semuanya sebenarnya membutuhkan proses. Tetapi ketika zaman ingin memamerkan pencapaian menjadi sebuah trend global, dipicu oleh keberadaan media sosial dengan platform-nya yang memberikan ruang pada ekspresi individu, maka sifat menerabas pun jauh lebih menonjol. Orang lebih suka jalan cepat, singkat dan mudah. Banyak orang tidak sabar dengan achivement oriented.

Maka joki pun digunakan, mengalirkan sifat suka menerabas tadi. Orang – orang in diakui atas achiement-nya tetapi tidak dibarengi dengan mutu dalam diri mereka. Sehingga dalam mendapatkan pencapaian itu mereka suka menempuh cara – cara yang curang.

Pada akhirnya fenomena joki yang terjadi saat ini mengisyaratkan bahwa mentalitas bangsa Indonesia masih belum dapat dikatakan mendukung pembangunan Indonesia. Mentalitas suka mencurangi untuk mendapatkan pengakuan publik ternyata masih dilakukan oleh orang-orang Indonesia.

Mentalitas ini tidak bisa kita pertahankan terus menerus. Menjelang perayaan HUT Proklamasi Kemerderkaan, kita harus mau meninggalkan mentalitas buruk ini untuk membuat negara kita menjadi lebih baik lagi.

¹Penulis adalah Mahasiswa S1 Antropologi Sosial FISIP USU

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *