Bonarinews.com — Peringatan Hari Guru Nasional 2025 seharusnya menjadi momentum untuk memberikan penghormatan kepada para pendidik yang setiap hari berjuang membangun generasi bangsa. Namun, refleksi tahun ini justru kembali membuka kenyataan pahit: hasil Tes Kemampuan Akademik (TKA) 2025, khususnya mata pelajaran matematika, masih rendah secara nasional. Banyak pihak kemudian menilai bahwa persoalan ini bersumber dari kemampuan mengajar guru yang belum optimal.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menolak cara pandang tersebut. Menurut Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, menyalahkan guru sama saja dengan menyederhanakan persoalan besar yang justru berada pada tingkat perumusan kebijakan negara. Jika kegagalan itu terjadi hanya di satu sekolah, mungkin penilaian pada guru masih masuk akal. Namun, bila rendahnya kemampuan matematika ditemukan merata di berbagai daerah dan jenjang, maka jelas persoalannya tidak lagi terletak di ruang kelas, melainkan di sistem pendidikan yang mengaturnya.
Pernyataan beberapa pejabat negara yang menyinggung kualitas guru, termasuk Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah serta Presiden Prabowo, dinilai JPPI sebagai bentuk lempar tanggung jawab. Sebab, ketika negara mengelola sistem pendidikan, maka merekalah yang seharusnya memastikan dukungan, fasilitas, dan struktur kebijakan berjalan baik sebelum menilai kemampuan individu guru.
Faktanya, JPPI melihat bahwa kegagalan pendidikan sudah berlangsung lama dan bersifat sistemik. Pertama, masih adanya diskriminasi struktural dalam dunia pendidikan yang menciptakan “kasta” di kalangan guru. Perbedaan perlakuan antara guru ASN dan honorer maupun guru negeri dan swasta menjadi contoh nyata ketidakadilan yang melemahkan profesi pendidik. Bagaimana mutu pendidikan bisa merata jika guru sendiri tidak mendapat perlakuan yang setara dan pantas?
Kedua, masalah juga bermula dari hulu: kampus-kampus pencetak guru (LPTK). Lembaga yang seharusnya melahirkan tenaga pendidik berkualitas, dinilai JPPI justru gagal bertransformasi sesuai tuntutan zaman. Tanpa reformasi serius pada LPTK, kualitas guru akan sulit ditingkatkan. Menyalahkan guru yang merupakan “produk” dari sistem pendidikan tenaga kependidikan yang buruk justru menjadi bentuk ketidakjujuran pemerintah dalam melihat akar masalah.
Ketiga, program pelatihan dan pengembangan guru selama ini masih jauh dari memadai. Banyak yang hanya bersifat seremonial, tidak sistematis, dan berganti-ganti sesuai perubahan menteri. Akibatnya, guru tidak memiliki ekosistem belajar yang berkelanjutan untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya. Padahal, guru dituntut terus berkembang, sementara negara tidak menyiapkan sistem pendukung yang stabil.
JPPI menegaskan bahwa perbaikan mutu guru tidak akan pernah berhasil tanpa keberanian politik dalam kebijakan anggaran. Pengurangan alokasi 20 persen dana pendidikan dari APBN dinilai sebagai langkah yang melemahkan masa depan pendidikan bangsa. Bahkan, anggaran dialihkan ke program-program lain yang tidak menyasar inti persoalan pembelajaran, seperti Program Makan Bergizi (MBG). Meski JPPI menganggap program tersebut memiliki tujuan baik, pendanaannya tidak boleh “mengorbankan” hak konstitusional guru dan proses peningkatan mutu pendidikan.
TKA 2025 seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah. Bukan alarm untuk mencari kambing hitam, tetapi sinyal bahwa sistem pendidikan perlu dibenahi secara fundamental. JPPI mendorong pemerintah untuk menghapus sistem kasta antar guru, mereformasi total LPTK, membangun sistem peningkatan kompetensi guru yang berkelanjutan, serta mengembalikan proporsi anggaran pendidikan sebagaimana amanat konstitusi.
Menghormati guru bukan hanya soal ucapan manis pada Hari Guru. Lebih dari itu, diperlukan keberanian menata ulang sistem, memastikan anggaran berpihak pada peningkatan mutu pembelajaran, dan memposisikan guru sebagai aktor utama pembangunan bangsa. Selama hal-hal mendasar ini belum dilakukan, maka menyalahkan guru hanyalah cara mudah untuk menutupi persoalan yang lebih besar dan lebih kompleks. (Redaksi)