“Jangan Kabur Dulu”: Demokrasi Kita Butuh Warganya, Bukan Penontonnya

Bagikan Artikel

Oleh: Yosua Putera Onggan

Belakangan ini, linimasa media sosial kita dipenuhi nada sinis terhadap politik. Salah satu yang paling mencolok adalah tagar “Kabur aja Dulu” yang muncul setiap kali suhu politik meningkat — entah menjelang pilkada, pemilu, atau saat penghitungan suara berlangsung. Di balik kelucuannya, tagar ini menyimpan keresahan yang lebih dalam: kelelahan dan kekecewaan publik terhadap demokrasi yang dianggap mandek, elitis, dan penuh kecurigaan.

Fenomena ini tak berhenti di dunia digital. Di ruang-ruang obrolan kampus, kantor, hingga warung kopi, kita sering mendengar komentar serupa: “politik kotor,” “percuma milih,” atau “lebih baik keluar negeri.” Rasa muak terhadap isu dinasti, oligarki, dan tuduhan kecurangan yang tak kunjung jelas menjadi bahan bakar sinisme.

Platform digital mempercepat sirkulasi konten yang memantik amarah lebih cepat daripada klarifikasi. Akibatnya, publik melihat politik sebagai arena gaduh tanpa jalan keluar. Dalam konteks ini, “Kabur aja Dulu” bukan sekadar lelucon, melainkan cerminan rasa tidak berdaya yang berpotensi mematikan semangat partisipasi demokratis.

Padahal, memilih menjauh justru memperbesar masalah. Demokrasi memang lambat, berisik, dan penuh kompromi, tapi ia tidak akan membaik tanpa partisipasi warganya. Ketika warga menarik diri dari diskusi publik, pemantauan kebijakan, dan ruang partisipasi, kekosongan itu akan diisi oleh jejaring yang justru diuntungkan oleh apatisme.

Lama-kelamaan, ketidakpercayaan makin mengeras, dan publik makin merasa tak punya kendali terhadap keputusan negara. Ini menciptakan lingkaran setan antara sinisme dan ketidakpuasan.

Masalah lain datang dari cara media sosial bekerja. Algoritme tidak dirancang untuk mendidik, melainkan untuk memancing emosi. Kita disuguhi konten-konten yang membuat marah, cemas, atau curiga — bukan yang memberi arah tindakan konkret.

Akibatnya, publik tahu banyak masalah, tapi tak tahu harus berbuat apa. Padahal, di balik hiruk-pikuk politik nasional, ada banyak ruang partisipasi yang terbuka: dari musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang), konsultasi publik, hingga pengawasan anggaran daerah. Rasa frustrasi muncul karena jarak antara paparan masalah dan peta aksi yang jelas terlalu jauh.

Dampak dari sikap “kabur” ini juga sangat nyata. Banyak anak muda berbakat memilih meninggalkan ruang publik atau bahkan negeri ini sama sekali. Ekosistem dialog mengering, organisasi mahasiswa kehilangan daya kritis, dan lembaga pengawas kekurangan relawan yang mau mengawasi jalannya pemerintahan. Ketika warga baik memilih diam, ruang itu akan diisi oleh mereka yang tidak selalu punya niat baik. Inilah titik di mana demokrasi perlahan kehilangan jiwanya.

Namun, harapan masih ada. Kita tidak perlu menunggu sistem menjadi sempurna untuk berpartisipasi. Ada tiga langkah penting yang bisa dilakukan bersama. Pertama, di tingkat negara, dorong transparansi radikal — mulai dari rekrutmen jabatan publik, pengadaan, hingga pengawasan konflik kepentingan.

Semua harus terbuka, bisa diaudit, dan mudah diakses publik. Kedua, di tingkat penyelenggara pemilu, perkuat sistem verifikasi terbuka dan mekanisme koreksi agar kepercayaan publik bisa dipulihkan. Ketiga, di tingkat masyarakat, tumbuhkan literasi partisipatif: bukan hanya cek fakta, tapi juga cek peluang aksi. Kampus, komunitas lokal, dan media bisa berperan sebagai jembatan antara informasi dan tindakan nyata.

Pada akhirnya, sinisme dalam tagar “Kabur aja Dulu” memang menggambarkan kelelahan, tetapi tidak seharusnya menjadi panduan bertindak. Demokrasi bukan tempat yang nyaman, tetapi ia memberi ruang paling aman untuk memperjuangkan perubahan tanpa kekerasan. Jika kita ingin pemerintahan yang bersih dan kebijakan yang berpihak, jawabannya bukan pergi, melainkan hadir — dengan cara yang lebih cerdas, terukur, dan kolaboratif.

Mulailah dari langkah kecil: datang ke forum warga, memberi masukan pada rancangan kebijakan, ikut mengawasi anggaran publik, atau sekadar menyuarakan aspirasi dengan sopan dan berbasis data. Karena setiap partisipasi, sekecil apa pun, adalah investasi bagi demokrasi yang lebih matang. Jangan kabur dulu — negeri ini masih membutuhkan warganya, bukan penontonnya.

Penulis adalah mahasiswa Psikologi Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *