Oleh: Yuli Maria Tuke, Velia Sarimanela, Joyce Arfista
Persoalan sampah di wilayah perkotaan kian menegaskan dirinya sebagai krisis lingkungan yang tak bisa lagi disederhanakan. Di DKI Jakarta, Jakarta Barat tercatat sebagai penyumbang sampah terbesar di antara lima kota administrasi. Setiap hari, lebih dari 1.500 ton sampah dihasilkan dari delapan kecamatan. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cermin dari pola hidup urban yang belum sepenuhnya ramah lingkungan.
Kondisi tersebut paling terasa di Kecamatan Cengkareng. Wilayah padat penduduk ini menghasilkan ratusan meter kubik sampah yang tersebar di badan jalan dan tempat pembuangan sementara. Tumpukan sampah plastik, sisa makanan, dan limbah rumah tangga kerap menjadi pemandangan sehari-hari, terutama di kawasan permukiman yang berbatasan dengan bantaran kali. Dampaknya bukan hanya pada kebersihan, tetapi juga kesehatan warga dan kualitas hidup secara keseluruhan.
Masalah sampah di kota besar tidak bisa semata-mata disandarkan pada keterbatasan armada angkut atau kapasitas tempat pembuangan. Berbagai kajian menunjukkan bahwa akar persoalan justru terletak pada perilaku masyarakat. Kebiasaan membuang sampah sembarangan, tidak memilah sampah sejak dari rumah, serta rendahnya kesadaran kolektif membuat persoalan ini terus berulang. Di kawasan padat, persoalan tersebut menjadi semakin kompleks karena tingginya mobilitas dan keterbatasan ruang.
Berangkat dari realitas itu, pengelolaan sampah perlu dipahami sebagai persoalan sosial, bukan hanya teknis. Penanganan di hilir tanpa perubahan perilaku di hulu hanya akan memindahkan masalah dari satu titik ke titik lain. Kesadaran inilah yang mendorong mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA) terlibat dalam proyek kewarganegaraan bertajuk “Bijak Kelola Sampah, Wujud Nyata Cinta Lingkungan dan Bangsa.”
Kegiatan tersebut dilaksanakan di Jalan Pulo Nangka II, Rawa Buaya, Cengkareng, Jakarta Barat. Wilayah ini dipilih karena mencerminkan persoalan sampah di kawasan padat penduduk. Hasil observasi awal menunjukkan bahwa penumpukan sampah di pinggir jalan dan sekitar pemukiman bukan hanya disebabkan kurangnya fasilitas, tetapi juga kebiasaan warga yang belum konsisten membuang dan mengelola sampah dengan benar.
Melalui wawancara dan dialog dengan warga RT 010/RW 02, terungkap bahwa sebagian besar warga sebenarnya memahami pentingnya menjaga kebersihan. Namun, pemahaman tersebut belum sepenuhnya terwujud dalam praktik sehari-hari. Kurangnya kebiasaan memilah sampah, keterbatasan sarana pendukung, serta belum kuatnya partisipasi kolektif menjadi hambatan utama.
Temuan ini kemudian ditindaklanjuti dengan aksi bersih-bersih lingkungan yang melibatkan mahasiswa dan warga. Sampah yang menumpuk di sejumlah titik dikumpulkan dan dipilah secara sederhana menjadi sampah organik dan anorganik. Kegiatan ini tidak hanya membersihkan lingkungan secara fisik, tetapi juga menjadi media pembelajaran langsung tentang pentingnya pengelolaan sampah sejak dari sumbernya.
Selain itu, mahasiswa juga memberikan psikoedukasi mengenai pengelolaan sampah rumah tangga dengan pendekatan dialogis dan kontekstual. Materi disampaikan secara sederhana agar mudah dipahami dan relevan dengan kehidupan sehari-hari warga. Fokus kegiatan diarahkan kepada para ibu, mengingat peran mereka yang strategis dalam mengatur rumah tangga dan membentuk kebiasaan keluarga.
Melalui diskusi dan praktik sederhana, warga diajak memahami bahwa perubahan besar dapat dimulai dari langkah kecil. Menyediakan tempat sampah di rumah, memilah sampah, dan membuangnya pada tempat yang benar merupakan tindakan sederhana yang berdampak signifikan bagi lingkungan sekitar. Pesan yang ingin ditekankan adalah bahwa kebersihan lingkungan bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau petugas kebersihan, melainkan tanggung jawab bersama.
Sebagai aksi lanjutan, mahasiswa dan warga mengolah sampah anorganik, khususnya botol plastik dan tutup botol bekas. Botol plastik dimanfaatkan menjadi vas bunga, sementara tutup botol diolah menjadi hiasan dekoratif lingkungan. Kegiatan ini membuka perspektif baru bahwa sampah tidak selalu identik dengan limbah, tetapi juga memiliki potensi nilai guna dan estetika jika dikelola dengan kreatif.
Pengalaman di Jalan Pulo Nangka II menunjukkan bahwa pendekatan berbasis komunitas mampu menumbuhkan kesadaran kolektif secara perlahan. Edukasi yang disertai praktik nyata lebih efektif dalam mendorong perubahan perilaku dibandingkan sekadar imbauan normatif. Dari lingkungan kecil, perubahan dapat tumbuh dan menyebar.
Bagi mahasiswa, kegiatan ini menjadi ruang pembelajaran kewarganegaraan yang konkret, bukan hanya konseptual. Sementara bagi warga, kegiatan ini diharapkan menjadi awal dari komitmen bersama untuk menjaga lingkungan tempat tinggal. Dari Cengkareng, pesan sederhana itu kembali ditegaskan: mengelola sampah dengan bijak adalah bentuk paling nyata dari cinta lingkungan dan tanggung jawab sebagai warga bangsa. (#)
Tim Penulis adalah Mahasiwa Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA ).