Oleh: Cintanya May Wenarisni Laoli
Beberapa bulan terakhir, linimasa media sosial dipenuhi dengan tagar #IndonesiaGelap. Kata “gelap” di sini bukan sekadar kiasan, tapi cerminan suasana hati banyak orang yang merasa hidupnya makin berat. Harga kebutuhan pokok naik, lapangan kerja makin sempit, sementara berita korupsi tak henti muncul. Banyak yang merasa arah bangsa ini seperti kehilangan cahaya—jauh dari cita-cita keadilan dan kesejahteraan.
#IndonesiaGelap lahir dari rasa kecewa dan lelah. Banyak orang, terutama anak muda, merasa tak lagi punya tempat untuk bersuara. Ketika mereka mengungkapkan pendapat di media sosial, ada yang menuduh mereka pesimis, bahkan ada yang menuding gerakan ini digerakkan pihak tertentu. Padahal, jutaan orang ikut menulis tagar ini bukan karena dibayar, melainkan karena benar-benar resah. Ini bukan sekadar soal politik, tapi soal perasaan: rakyat ingin didengar, bukan disalahkan.
Tagar ini sebetulnya adalah cermin dari lemahnya komunikasi antara rakyat dan pemimpinnya. Demokrasi seharusnya memberi ruang bagi kritik, tapi di negeri ini, kritik sering dianggap ancaman. Padahal, dalam demokrasi yang sehat, suara rakyat justru jadi bahan introspeksi. Saat rakyat bersuara tentang susahnya hidup, itu bukan karena ingin menjatuhkan pemerintah, tapi karena ingin pemerintah memperhatikan.
Selain itu, #IndonesiaGelap juga menggambarkan jurang antara janji dan kenyataan. UUD 1945 menjamin hak rakyat untuk hidup layak, bekerja, dan mendapatkan pendidikan. Tapi di lapangan, banyak yang masih berjuang sekadar untuk makan dan bertahan hidup. Saat kebutuhan dasar saja sulit dipenuhi, wajar kalau rakyat merasa “gelap”—karena harapan yang dulu terang, kini terasa redup.
Namun, tagar ini bukan sekadar keluhan. Di baliknya ada harapan besar. Rakyat tidak menolak pemerintah, mereka hanya ingin pemerintah lebih peduli. Mereka tidak menolak demokrasi, mereka hanya ingin demokrasi hadir setiap hari, bukan hanya saat pemilu. Mereka ingin negara hadir nyata dalam hidup mereka—dalam harga pangan yang terjangkau, pekerjaan yang layak, dan pendidikan yang benar-benar bisa diakses.
Karena itu, membangun kembali kepercayaan antara rakyat dan pemerintah menjadi hal yang mendesak. Pemerintah harus berani jujur mengakui bahwa banyak rakyat sedang kesulitan. Tak perlu menutupinya dengan kata-kata manis atau data indah. Kebijakan ekonomi sebaiknya berpihak pada rakyat kecil, bukan hanya pada investor besar. Dan yang terpenting, pemerintah harus membuka ruang dialog yang jujur dan aman—agar kritik tidak lagi dianggap musuh, tapi dianggap bukti bahwa rakyat masih peduli.
#IndonesiaGelap adalah pengingat bagi kita semua bahwa bangsa ini sedang kehilangan harapan. Tapi justru dari kegelapan itulah cahaya bisa kembali lahir—asal ada kemauan untuk berubah. Rakyat bersuara bukan karena benci, melainkan karena masih punya harapan. Karena sesungguhnya, ketika rakyat berkata negeri ini gelap, itu artinya mereka sedang menunggu fajar datang.
Penulis Adalah Mahasiswa Ukrida, Jakarta, Program Studi Psikologi