Indonesia, Negara Demokrasi? Mungkin Kita Perlu Bertanya Lagi

Bagikan Artikel

Oleh: Michelle Laurent

Agustus 2025 menjadi bulan yang tak akan mudah dilupakan. Di banyak kota, masyarakat turun ke jalan menuntut keadilan. Mereka memprotes kenaikan tunjangan anggota DPR yang dianggap tidak masuk akal, di tengah kondisi ekonomi yang masih sulit. Indonesia Corruption Watch (ICW) sudah lama meminta transparansi soal pendapatan para wakil rakyat itu, tapi tak ada jawaban. Hingga akhirnya, informasi tentang kenaikan tunjangan itu bocor dan menyebar cepat di media sosial.

Yang terjadi setelahnya, kita semua tahu. Aksi damai berubah menjadi kerusuhan. Suara rakyat yang ingin didengar malah tenggelam oleh kekacauan. Ada provokator, ada isu etnis yang dibelokkan, ada fasilitas publik yang dibakar. Dan di tengah semua itu, muncul pertanyaan yang menggantung di udara: di mana para pemimpin ketika rakyat mereka berdarah di jalanan?

Indonesia disebut negara demokrasi, tapi benarkah rakyat benar-benar punya ruang untuk bersuara? Jika setiap teriakan keadilan dibalas dengan kekerasan, lalu di mana letak demokrasi yang kita banggakan itu?

Ironisnya, ketika rakyat berjuang di jalan, sebagian pemimpin justru menghilang. Di media sosial, muncul tagar #kaburajadulu, menggambarkan kekecewaan masyarakat yang merasa ditinggalkan. Padahal, bukankah pemimpin sejati seharusnya berdiri paling depan ketika rakyatnya sedang terluka? Apa gunanya kekuasaan kalau hanya digunakan untuk kenyamanan diri sendiri?

Rasanya menyakitkan melihat bangsa yang telah merdeka masih dijajah oleh keserakahan dan ketidakadilan. Saat sebagian menikmati fasilitas negara, sebagian lain berjuang hanya untuk didengar. Lebih menyedihkan lagi, ketika siaran langsung dari lapangan dimatikan, seolah kebenaran harus disembunyikan. Bukankah transparansi adalah bagian dari hak rakyat dalam negara demokrasi?

Provokasi berbasis etnis dan kekerasan tidak pernah menyelesaikan masalah. Justru, hal itu membuat luka bangsa semakin dalam. Apalah arti Bhinneka Tunggal Ika jika kita dibiarkan saling curiga dan terpecah? Apa arti Pancasila jika demokrasi hanya tinggal slogan tanpa makna nyata dalam kehidupan rakyat?

Sebenarnya, permintaan rakyat tidak banyak: hanya ingin didengar, diperlakukan dengan adil, dan mendapatkan transparansi dari para pemimpin. Namun sayangnya, aspirasi itu sering kali dianggap angin lalu. Pemerintah seolah lupa bahwa kekuasaan mereka berasal dari rakyat, bukan sebaliknya.

Sudah waktunya negara benar-benar membuka ruang bagi rakyat untuk bersuara tanpa rasa takut. Demokrasi tidak akan hidup hanya dengan pidato dan simbol, tapi dengan keberanian mendengar dan bertindak. Indonesia tidak akan pernah menjadi negara yang benar-benar merdeka jika keadilan terus dibiarkan kalah oleh keserakahan.

Kami tidak butuh janji, kami butuh tindakan. Kami tidak ingin disuruh diam, kami ingin diajak bicara. Karena pada akhirnya, Indonesia bukan milik segelintir orang, tetapi milik semua yang mencintai negeri ini dan ingin melihatnya berdiri tegak—adil, terbuka, dan manusiawi.

Penulis adalah Mahasiswa Ukrida Jakarta, Prodi Psikologi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *