Indonesia, Negara Berkembang Permanen?

Bagikan Artikel

Oleh Finley Eiwan Franklin Zaluchu

Revolusi Industri lahir dari kebutuhan manusia untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi hidup yang meletus sejak akhir abad ke-18. Hadirnya mesin uap yang mampu bekerja lebih efisien dibandingkan tenaga kerja manusia telah menciptakan sistem produksi yang lebih masif dibandingkan jika hanya mengandalkan tenaga manusia. Alhasil, perubahan yang terjadi bukan hanya masalah teknologi, tetapi lahirnya sebuah standar baru dalam pembangunan ekonomi dalam sebuah negara. Semakin cepat sebuah negara mengadopsi dan menyempurnakan fase revolusi industrinya maka akan semakin cepat pula negara tersebut untuk maju.

Saat ini, semua negara yang berstatus “negara maju” memiliki 1 pola yang sama yaitu mereka menuntaskan setiap fase revolusi industri, perlahan tahap demi tahap, dari revolusi industri 1.0 sampai revolusi industri 4.0 hingga akhirnya mereka mampu bergerak menuju revolusi industri 5.0. Kita mengambil contoh negara-negara seperti Jepang, Jerman, hingga Korea Selatan telah membangun basis infrastruktur yang baik dan memadai, melakukan ragam riset, dan kualitas pendidikan yang kokoh sehingga setiap loncatan teknologi bisa dirasakan setiap masyarakat yang ada dalam negara tersebut.

Sayangnya hal tersebut berbanding terbalik dengan Indonesia yang selalu “meloncat” tanpa menyempurnakan setiap fase revolusi industri yang ada. Akhirnya, Indonesia masih memiliki ribuan “PR” yang menghantui jika Indonesia ingin menjadi negara maju. Hal ini pun menimbulkan pertanyaan besar selama ini, “apakah kita memang ditakdirkan untuk menjadi negara berkembang?”

Untuk membuktikannya, mari kita bahas satu per satu ketertingggalan Indonesia dalam mencapai setiap fase dalam revolusi industri. Pertama, Revolusi Industri 1.0. Revolusi industri 1.0 berfokus pada mekanisasi, pembangunan infrastruktur energi dasar seperti air, batu bara, dan mesin uap, transportasi massal awal, dan pabrik mekanis mengganti produksi manual. Ternyata Indonesia belum sepenuhnya tuntas memenuhi hal tersebut. Mengutip data dari ESDM tahun 2022, bahwa mekanisasi dan pabrik sudah ada, tetapi Indonesia masih ketergantungan pada ekspor SDA yang sangat tinggi, bahkan infrastruktur dasar pun masih timpang. Contoh sederhananya adalah sekitar 2,4 juta rumah tangga di Indonesia belum menerima aliran listrik PLN.

Berlanjut ke tahap kedua kedua, Revolusi Industri 2.0. Pada fase ini seharusnya sudah terpenuhinya akses listrik yang merata, standar manufaktur yang massal, serta transportasi yang modern. Pada kenyataannya memang listrik sudah lebih baik namun kualitas listriknya tidak stabil. Berdasarkan laporan World Economic Forum 2019, kualitas listrik Indonesia berada pada peringkat 56 dari 141 negara. Masalah jalur produksi massal pun teknologi manufaktur di Indonesia masih merupakan hasil import. Bahkan Indonesia pun belum punya ekosistem otomotif yang kuat seperti Jepang atau Korea Selatan.

Di tahap ketiga, Revolusi Industri 3.0, fase revolusi industri ini seharusnya menuntut adanya otomatisasi dan komputerisasi yang baik dalam industri dan pabrik, serta literasi digital dasar yang baik. Pada tahap ini Indonesia masih berada pada posisi yang lemah. Komputerisasi di pabrik sudah banyak tetapi masih terbatas, mayoritas industri hanya padat karya bukan padat teknologi, padahal Industri 3.0 menuntut perpindahan dari mengandalkan SDA dengan biaya murah menjadi penggunaan teknologi canggih untuk produksi pabrik secara massal. Selain itu R&D (Research and Development) industri di Indonesia masih minim. Berdasarkan data UNESCO pada tahun 2021, anggaran riset di Indonesia hanya 0,23% dari PDB nasional, sangat jauh jika dibandingkan dengan Korea Selatan dengan total pembiayaan riset sebesar 4,8% dari PDB atau Jepang dengan total pembiayaan riset sebesar 3,3% dari PDB nasional. Hal ini mengakibatkan SDM sains dan teknologi masih sedikit di Indonesia dengan rasio peneliti Indonesia hanya 216 per 1 juta penduduk. Angka tersebut sangat sedikit jika dibandingkan dengan negara seperti Malaysia (2.590 per 1 juta penduduk), China (1.225 per 1 juta penduduk), Korea Selatan (7.980 per 1 juta penduduk), atau Jepang (5.331 per 1 juta penduduk) yang memang benar-benar telah menjadi negara dengan revolusi industri yang sebenarnya.

Keempat, tahapan revolusi industri 4.0. Fase ini menuntut adanya digitalisasi dan smart systems seperti internet cepat dan merata, penggunaan IoT, AI, big data, Cloud Computing, Literasi digital, dan SDM siap industri digital. Indonesia belum mencapai tahap ini, masih sekedar jargon saja. Infrastruktur sudah dimulai dan mulai beralih ke era digital, tetapi kualitas internet masih buruk dengan kecepatan rata-rata sebesar 24,9 Mbps (Speedtest Global Index, Mei 2023) dan hanya berada di peringkat 123 dunia. Adaptasi teknologi industri Indonesia pun masih lemah. Berdasarkan data BPS 2021, hanya 21% industri yang berhasil menerapkan teknologi tingkat lanjut seperti IoT, big data, dan cloud computing, UMKM masih memakai teknologi sederhana. Selain itu SDM digital di Indonesia masih rendah dimana lulusan IT Indonesia sangat minim padahal industri sedang membutuhkan sekitar 400 ribu lulusan IT per tahun (Menkominfo, 2022).

Lalu, bagaimana seharusnya agar Indonesia tidak terus terjebak dalam status negara berkembang permanen? Pertama, tuntaskan fondasi industri dimana Indonesia tercecer jauh khususnya di tahapan 2.0-3.0. Indonesia harus fokus pada pembenahan pemerataan listrik, infrastruktur transportasi modern, dan dorongan otomatisasi manufaktur. Kedua, tingkatkan anggaran R&D (Research and Development) agar menjadi prioritas, setidaknya mencapai 1% dari PDB nasional agar dapat memperbanyak inovasi serta memperbanyak jumlah peneliti Indonesia. Ketiga, membangun ekosistem inovasi yang sehat melalui insentif pajak, kolaborasi antara universitas dan industri, serta memberikan dukungan pada startup teknologi dalam negeri, bukan hanya pada e-commerce.

Dengan cara memperbaiki semua kebutuhan dasar yang ada itulah, jargon “Industri 4.0” akan tercapai, bukan hanya sekedar omong kosong belaka. Indonesia bisa menjadi negara maju dengan mengerjakan ketertinggalan dari revolusi industri sebelumnya agar dapat mengejar negara lain yang sudah masuk revolusi industri 5.0.

Penulis adalah mahasiswa Prodi Computer Science Universitas Bina Nusantara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Open chat
Hello 👋
Can we help you?