Oleh: Mardi Panjaitan
Di ruang kelas, guru berdiri sebagai pelita. Ia menyampaikan ilmu, membimbing karakter, menjadi saksi tumbuhnya generasi. Tapi di luar kelas, suara guru kerap hilang, tenggelam oleh tumpukan administrasi, birokrasi, dan tuntutan rutinitas.
Padahal, guru menyimpan begitu banyak cerita, gagasan, refleksi, bahkan kritik yang jika dituliskan, bisa menggugah, menggerakkan, dan mengubah. Maka saya ingin menyampaikan satu seruan sederhana namun mendesak: guru harus menulis.
Mengapa? Karena diam tak pernah mewakili perjuangan. Karena pengalaman yang tak ditulis akan hilang ditelan waktu. Karena ilmu yang hanya disampaikan di kelas berisiko menguap, tapi jika dituangkan dalam tulisan, ia akan abadi, bisa melampaui batas ruang dan generasi.
Saya bukan sastrawan. Saya bukan jurnalis. Saya hanya guru olahraga di sebuah SLB. Tapi saya memilih menulis, karena saya tahu ada hal-hal yang tak bisa saya sampaikan lewat instruksi baris-berbaris atau lempar bola. Ada keresahan, ada harapan, ada gagasan, ada kisah kemanusiaan di ruang-ruang kelas kami yang perlu dibagikan kepada dunia. Menulis adalah cara saya menyapa dunia dari ruang kelas yang sering dianggap sunyi.
Menulis tidak harus dimulai dari yang rumit. Cukup dengan kejujuran dan keberanian. Tulislah tentang siswa yang menginspirasi. Tentang perjuangan mengajar di tengah keterbatasan. Tentang solusi kecil yang berdampak besar. Tentang nilai-nilai yang mulai ditinggalkan. Karena tulisan guru bukan hanya catatan pengalaman pribadi, tetapi bisa menjadi peta, cermin, bahkan pelita bagi guru lain.
Banyak guru merasa menulis itu sulit. Padahal yang lebih sulit adalah membiarkan suara kita mati pelan-pelan. Saya percaya setiap guru punya cerita yang layak didengar. Maka jangan menunggu sempurna. Tulislah dulu, rapikan kemudian. Bukan soal gaya bahasa, tapi kejujuran. Bukan soal berapa banyak pembaca, tapi apakah pesan itu sampai pada mereka yang membutuhkan.
Dalam dunia pendidikan yang terus berubah, guru tidak boleh hanya menjadi pelaksana kurikulum. Guru juga harus menjadi penggagas, penggerak, dan penjaga nilai. Dan semua itu bisa dimulai dari menulis.
Karena kelak, anak didik kita tidak hanya akan mengenang apa yang kita ajarkan di kelas. Tapi juga akan membaca dan merasakan warisan pemikiran yang kita tinggalkan. Sebab guru yang menulis, tak akan lekang oleh waktu.
Maka menulislah. Karena kata-kata adalah jejak perjuangan. Dan guru, adalah penjaga peradaban.
*) Penulis adalah Kepala SLB Negeri Pembina