Hanya dalam sembilan bulan menjabat, Gubernur Riau Abdul Wahid sudah tersandung kasus korupsi. OTT KPK terbaru ini bukan sekadar skandal politik, tapi alarm keras bagi seluruh pemerintah daerah: janji bersih tanpa sistem pengawasan yang tegas hanyalah omon-omon belaka.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengguncang dunia politik daerah. Abdul Wahid diamankan bersama sembilan orang lainnya dalam operasi tangkap tangan terkait dugaan suap proyek Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Provinsi Riau. Sejumlah uang tunai dan dokumen proyek disita, menegaskan dugaan penyalahgunaan anggaran publik.
Kasus ini memperlihatkan kegagalan sistem integritas di tingkat daerah. Riau tercatat memiliki riwayat panjang kepala daerah yang tersandung korupsi; tiga gubernur sebelumnya juga pernah diamankan KPK. Pola yang sama berulang, menegaskan bahwa penindakan tunggal tanpa perbaikan struktural tidak cukup menghentikan praktik korupsi.
OTT Abdul Wahid bukan hanya persoalan individu. Ini cermin birokrasi yang longgar, pengawasan proyek yang lemah, dan budaya “fee proyek” yang mengakar. Kepala daerah masih sering memandang jabatan sebagai ladang politik dan bisnis pribadi. Sistem tender yang tidak transparan dan minimnya mekanisme pengawasan memperparah situasi.
Dampaknya jelas. Kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah menurun, proyek pembangunan terancam molor atau tidak maksimal, dan citra pemerintahan pusat ikut terdampak. Di tengah janji pemerintah baru untuk menegakkan good governance, kasus ini menjadi pengingat bahwa integritas bukan sekadar slogan.
OTT Gubernur Riau adalah peringatan keras: korupsi di daerah bukan hanya mencuri uang negara, tapi juga mencuri masa depan rakyat. Pemerintah pusat wajib memastikan pembenahan struktural, dari rekrutmen pejabat hingga pengawasan proyek, bukan hanya penindakan episodik. Tanpa sistem yang tegas, kepala daerah yang bersih hanyalah mimpi, dan rakyat yang paling dirugikan tetap sama. (Redaksi)