Bonarinews.com, Kupang – Gereja Katolik kembali menegaskan komitmennya untuk hadir di tengah realitas sosial umat. Melalui kegiatan sosialisasi bertema Ketahanan Pangan dan Pastoral Migran yang digelar di Desa Noehaen, Kecamatan Amarasi Timur, Kabupaten Kupang, Minggu (12/10/2025), Gereja mengajak umat untuk mandiri secara ekonomi sekaligus menjaga martabat manusia.
Kegiatan yang diinisiasi Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Keuskupan Agung Kupang ini diikuti puluhan umat dari Paroki St. Stephanus Noehaen, kelompok tani, dan Komunitas Basis Gerejani (KBG). Dua narasumber utama hadir memberikan pemaparan, yakni Romo Marsel Selludin dari Komisi PSE dan Suster Laurentina, SDP dari Komisi Pastoral Migran.
Romo Marsel menekankan bahwa ketahanan pangan bukan sekadar urusan ekonomi, tetapi juga bagian dari tanggung jawab iman. “Menjaga pangan berarti menjaga kehidupan dan ciptaan Tuhan. Gereja harus hadir bukan hanya lewat doa, tetapi juga lewat tindakan nyata,” ujarnya.
Ia menyoroti tantangan yang dihadapi masyarakat Amarasi, seperti kekeringan, perubahan iklim, serta sulitnya akses terhadap modal dan sarana produksi pertanian. Generasi muda yang lebih memilih merantau juga membuat regenerasi petani melambat, menyebabkan banyak keluarga petani bergantung pada bantuan luar.
Sebagai solusi, Komisi PSE mendorong pelatihan pertanian organik, pembuatan pupuk alami, dan pengolahan pakan ternak lokal. PSE juga membagikan benih padi, jagung, dan sorgum serta menjalin kerja sama dengan Dinas Pertanian dan Balai Teknologi Pertanian.
“Tujuannya agar umat bisa berdiri di atas kaki sendiri, tidak terus bergantung pada bantuan,” kata Romo Marsel. Ia juga memperkenalkan konsep koperasi dan Credit Union (CU) sebagai sarana membangun budaya menabung dan solidaritas ekonomi di kalangan umat.
Sementara itu, Suster Laurentina dalam sesi kedua menyoroti isu migrasi yang marak di Nusa Tenggara Timur. Ia menjelaskan bahwa banyak warga terpaksa merantau karena terbatasnya lapangan kerja dan peluang pendidikan. Namun, migrasi yang tidak disiapkan dengan baik seringkali membuat para pekerja rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi.
“Migrasi harus aman dan bermartabat. Gereja punya tanggung jawab untuk mendampingi calon migran sejak awal,” ujarnya. Pendampingan itu mencakup pelatihan keterampilan, edukasi hukum, dan penyuluhan tentang hak-hak pekerja.
Suster Laurentina juga menekankan pentingnya mendampingi keluarga migran di kampung halaman agar mereka mampu mengelola keuangan, menjaga pendidikan anak, dan tetap harmonis selama anggota keluarga bekerja di luar negeri.
“Kalau kehidupan di kampung membaik, orang tidak akan mudah meninggalkan keluarganya. Gereja harus membantu agar migrasi menjadi pilihan yang aman, bukan karena keterpaksaan,” katanya.
Kegiatan ini menjadi bentuk nyata peran Gereja dalam membangun kemandirian umat, menjaga solidaritas sosial, dan memastikan bahwa setiap manusia tetap dihargai martabatnya — baik di tanah kelahiran maupun di tanah perantauan. (Wuran)