Oleh: Axel Daniel Prilitus
Fenomena meningkatnya remaja yang terlibat judi online belakangan ini menjadi alarm serius bagi Indonesia. Dalam dua tahun terakhir, kasus yang melibatkan pelajar SMP dan SMA terus bermunculan. Mereka tidak lagi bermain secara diam-diam, tetapi menjadikannya sebagai kegiatan “mabar”—main bareng—melalui ponsel masing-masing.
Tren ini muncul di berbagai kota besar, mulai dari Jakarta, Medan, Surabaya, hingga Makassar dan Bandung. Laporan sekolah, orang tua, dan aparat hukum sama-sama mengarah pada kenyataan bahwa kasusnya terus bertambah sejak 2023. Polri bahkan mengungkap ribuan akun judi online yang aktif dimainkan remaja setiap minggu.
Di sisi lain, Kominfo telah memblokir lebih dari satu juta situs judi dalam dua tahun terakhir, tetapi platform judi terus bermetamorfosis melalui aplikasi media sosial dan server luar negeri.
Kemudahan akses membuat situasi ini makin sulit dikendalikan. Hanya dengan ponsel, internet, dan dompet digital, remaja dapat masuk ke berbagai jenis permainan berhadiah uang. Awalnya mereka hanya ikut-ikutan bermain gim bersama teman.
Namun promosi agresif yang menjanjikan “modal kecil, untung besar” membuat banyak remaja tergoda. Tidak sedikit yang akhirnya menggunakan tabungan, meminjam uang teman, bahkan mengambil uang keluarga untuk menutup kekalahan. Fenomena ini jelas menunjukkan, persoalan judi online sudah berubah menjadi ancaman psikologis, finansial, dan sosial.
Alasan pertama mengapa masalah ini perlu mendapat perhatian serius adalah kerentanan remaja terhadap kecanduan digital. Survei APJII mencatat bahwa 99 persen remaja usia 13–18 tahun menggunakan internet hampir setiap hari. Dalam kondisi minim pengawasan, mereka mudah terseret aktivitas berisiko seperti judi online.
Dari perspektif perkembangan otak, permainan yang memberi hadiah cepat memicu lonjakan dopamin yang mirip pola kecanduan. Akibatnya, kemampuan mengendalikan diri menurun, pengambilan keputusan memburuk, dan konsentrasi terganggu. Ini ancaman langsung terhadap perkembangan psikologis dan prestasi belajar mereka.
Alasan kedua berkaitan dengan dampak ekonomi dan sosial. Remaja yang sudah kecanduan cenderung kehilangan kontrol terhadap uang. Ada yang kehabisan tabungan, ada yang mengambil uang orang tua, ada pula yang terjebak pinjaman online atau paylater.
Situasi ini memicu masalah baru di rumah: pertengkaran, kehilangan kepercayaan, hingga tekanan ekonomi. Tidak jarang perilaku judi mendorong tindakan kriminal ringan, seperti mencuri barang di rumah atau memalsukan izin orang tua. Ini membuktikan bahwa dampaknya tidak berhenti pada pelaku, tetapi merembet ke keluarga dan lingkungan.
Alasan ketiga adalah lemahnya literasi digital di sekolah. Banyak remaja mahir memakai gawai, tetapi tidak memahami risiko, etika, dan keamanan digital. Survei Kemendikbud menunjukkan hanya sepertiga siswa SMA yang memiliki literasi digital kategori baik.
Kondisi ini membuat mereka mudah terjebak iming-iming iklan judi atau konten influencer yang memamerkan keuntungan instan. Mereka juga sering tidak memahami bahwa judi online memiliki konsekuensi hukum.
Untuk menghadapi masalah ini, dibutuhkan pendekatan yang menyeluruh. Pemerintah perlu memperkuat pemblokiran situs dan menindak pihak yang mempromosikan judi. Regulasi fintech harus diperketat agar tidak mudah digunakan untuk transaksi ilegal.
Sekolah perlu memberikan edukasi literasi digital dan bahaya judi online, serta mengaktifkan peran guru BK sebagai pendamping siswa. Orang tua juga memiliki peran besar: mengawasi penggunaan gawai, membangun komunikasi terbuka, dan mengajarkan anak tentang pengelolaan uang. Bagi remaja yang sudah menunjukkan tanda kecanduan, pendampingan psikologis menjadi langkah yang penting.
Fenomena “mabar judi online” bukan sekadar tren negatif, tetapi ancaman serius bagi masa depan generasi muda. Dampaknya merambah ke mental, ekonomi, hingga stabilitas sosial. Jika dibiarkan, kerugian yang muncul akan jauh lebih besar daripada sekadar kehilangan uang. Indonesia membutuhkan kerja sama semua pihak—pemerintah, sekolah, dan keluarga—untuk melindungi remaja dari jerat kecanduan judi online. Dengan langkah yang tepat, masa depan generasi muda dapat diselamatkan.
Penulis adalah mahasiswa UKRIDA Jakarta, Program Studi Psikologi.