Oleh: Devilaria Damanik
Di desa pesisir Kong, Perusahaan Human Care menugaskan dua pekerja baru: Coro dan Dono. Awal pertemuan mereka biasa saja. Dono penuh percaya diri, sering pamer pengalaman dan pengetahuannya tentang desa. Coro, yang pendiam dan santai, hanya tersenyum dan mengangguk. Belum ada kedekatan, tapi kehidupan sehari-hari segera menyingkap siapa mereka sebenarnya.
Coro menyukai tidur. Baginya, libur adalah waktu untuk hibernasi—tidur siang, tidur sore, tidur malam. Dono, sebaliknya, memanfaatkan libur untuk berpetualang, memancing, atau menjelajah hutan. Perbedaan ini membuat mereka sering berselisih, walau tetap bisa tertawa bersama.
Suatu malam, Dono selesai memasak ikan segar. Dapur terlihat seperti kapal pecah—ikan berserakan, minyak di kompor, piring kotor menumpuk. Coro hanya menepuk bahu sambil menumpuk piring kotor di sudut dapur.
“Duh, ribet amat, sih,” keluh Coro.
“Yah, kau mau bantu sedikit saja, kan?” Dono mengeluh.
Coro tersenyum tipis. “Kalau ada makanan gratis, aku bantu. Kalau nggak, ya… biarin aja.”
Dono mengelus kepala, setengah tertawa, setengah kesal. “Aduh, pemalas banget kamu.”
Mereka berdua memang pemalas, tapi dengan cara berbeda. Coro pemalas yang disenangi orang karena santai dan ramah, Dono pemalas yang gengsian tapi rajin melakukan hal-hal yang ia sukai. Dinamika ini menjadi sumber humor sehari-hari.
Dono sering memancing untuk mendapatkan ikan segar. Kadang ia berburu di hutan, kadang memancing berjam-jam di tepi laut. Suatu hari, ia memancing bersama Dilan, pemuda kurus berambut ikal. Dalam dua jam, mereka berhasil menangkap belasan ikan. Dono menggoreng ikan, dan menanak nasi. Namun, ia tidak makan sendiri. Dengan tulus, ia membagi lauk ikan goreng itu kepada Coro.
“Gurih banget ini!” seru Coro.
“Makanya, kalau mau kenyang, belajarlah memancing sendiri,” sindir Dono sambil tersenyum.
Namun, tidak semua berjalan mulus. Suatu sore, Dono memancing sendiri di tepi laut. Ikan enggan menyambar umpannya, sementara tetangga, Poyo, berhasil mendapatkan banyak ikan dengan mudah. Dono pulang dengan beberapa ikan kecil saja, cukup untuk dirinya.
Coro, yang malas tapi cerdik, tetap santai. Ia membeli telur dan sayur di warung untuk menambah lauknya. Tetangga mulai iba melihat hidup Coro, mengira ia kekurangan makanan. Dono sedikit kesal, tapi perlahan menyadari satu hal: hidup tidak selalu adil—kadang usaha keras belum tentu membuahkan hasil, sementara orang lain tetap bisa bertahan dengan caranya sendiri.
Hari demi hari berlalu, Dono mulai menenangkan diri. Ia tidak lagi memaksakan diri memancing berjam-jam atau membuat dapur berantakan. Ia belajar menghargai usaha kecil, bahkan dari Coro yang meski malas, tetap punya caranya sendiri untuk bertahan hidup.
Coro pun kadang membantu Dono menyiapkan makanan, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk orang lain. Tidak banyak, tapi cukup membuat mess mereka terasa lebih hangat.
Suatu sore, ketika matahari tenggelam di balik laut Kong, Dono dan Coro duduk di beranda mess, menatap langit jingga yang membara.
“Kau tahu, Coro,” kata Dono pelan, “hidup memang nggak selalu adil, tapi kadang lucu juga.”
Coro tersenyum, menepuk pundak Dono. “Iya, kita dua pemalas ini, tapi ternyata bisa bertahan bareng juga, ya.”
Dono tertawa pelan, meski tubuhnya masih lelah. “Bareng, tapi jangan terlalu dekat,” goda Dono.
Coro terkekeh. “Deal.”
Mereka berdua tahu, hidup bersama penuh dinamika—kadang lucu, kadang menyebalkan, tapi selalu penuh kejutan. Dan di antara kebiasaan malas mereka, tersimpan pelajaran sederhana: saling memahami, menyeimbangkan hidup, dan sesekali, berbagi sedikit kebahagiaan. (*)
Keren