DPR Ubah Aturan Pilkada 2024 : Kontroversi dan Implikasi Terhadap Konstitusi

Bagikan Artikel

Bonarinews.com – Revisi Undang-Undang Pilkada oleh DPR RI baru-baru ini telah memicu kontroversi dan kritik tajam dari berbagai kalangan.

Perubahan yang disepakati dalam Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada ini dinilai tidak sepenuhnya mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan berpotensi menyebabkan Pilkada 2024 menjadi inkonstitusional.

Perubahan Ambang Batas Pencalonan

Salah satu poin utama dari revisi ini adalah perubahan syarat ambang batas pencalonan kepala daerah. Menurut Tim Ahli Baleg DPR, perubahan ini hanya berlaku untuk partai politik atau gabungan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD.

Mereka dapat mendaftarkan calon gubernur dan calon wakil gubernur dengan ketentuan tertentu yang diatur dalam Pasal 40 UU Pilkada. Ketentuan ini mengikuti putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024, yang menurunkan ambang batas pencalonan menjadi antara 6,5 persen hingga 10 persen dari jumlah pemilih tetap di provinsi tersebut.

Namun, aturan lama tetap berlaku untuk partai-partai yang sudah memiliki kursi di DPRD. Partai atau gabungan partai yang memiliki kursi di DPRD harus memenuhi syarat perolehan minimal 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah tersebut untuk dapat mendaftarkan calon.

Kontroversi dan Kritik Terhadap Revisi

Meski DPR telah menyepakati revisi ini, sejumlah pihak menilai bahwa langkah ini merupakan pembangkangan terhadap konstitusi. Pengajar hukum pemilu dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menyatakan bahwa revisi UU Pilkada yang dilakukan DPR dan pemerintah sehari setelah MK membacakan putusan dinilai tidak konstitusional.

Ia menegaskan bahwa putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024 bersifat final dan mengikat, sehingga setiap perubahan terhadap undang-undang harus mengikuti ketentuan tersebut.

Putusan MK Nomor 60 menyatakan bahwa ambang batas pencalonan kepala daerah harus diselaraskan dengan syarat dukungan calon dari jalur perseorangan. Selain itu, ambang batas pencalonan tidak boleh hanya berlaku bagi partai yang memiliki kursi di DPRD. Namun, revisi DPR tampaknya tidak mengakomodasi perubahan ini sepenuhnya.

Di sisi lain, Putusan MK Nomor 70 menetapkan bahwa batas usia minimum calon kepala daerah dihitung sejak penetapan pasangan calon, bukan sejak pelantikan. Ini berdampak pada calon-calon yang sebelumnya dinyatakan tidak memenuhi syarat usia minimum jika dihitung dari saat pelantikan, seperti Kaesang Pangarep yang tidak bisa mencalonkan diri sebagai gubernur.

Implikasi untuk Pilkada 2024

Jika revisi UU Pilkada yang disepakati DPR tetap diterapkan, Pilkada 2024 berpotensi menjadi inkonstitusional dan kehilangan legitimasi.

Kritikus khawatir bahwa perubahan ini bisa menguntungkan elite partai dengan mengurangi peluang calon independen atau calon dari partai kecil yang tidak memiliki kursi di DPRD.

Di sisi lain, penerapan syarat usia yang tidak mengikuti putusan MK juga dapat menghambat calon muda yang berpotensi berkompetisi.
Dalam konteks ini, penting bagi seluruh elemen bangsa untuk menghormati dan mematuhi putusan MK sebagai penafsir konstitusi.

Dengan melanjutkan pembahasan dan revisi UU Pilkada, diharapkan penyelenggaraan Pilkada 2024 dapat berlangsung sesuai dengan prinsip konstitusi dan menjamin keadilan bagi semua calon.

Penutup

Dengan adanya perubahan ini, masyarakat perlu memperhatikan bagaimana peraturan ini akan mempengaruhi dinamika politik dan persaingan dalam Pilkada mendatang.

Proses hukum dan revisi undang-undang harus selalu berada dalam koridor konstitusi untuk memastikan bahwa demokrasi berjalan secara adil dan transparan.

Penulis: Priskila Theodora

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *