Di Antara Lumpur, Harapan Masih Dicari: Catatan dari Longsor Banjarnegara

Bagikan Artikel

Tragedi tanah longsor di Desa Pandanarum, Banjarnegara, kembali mengingatkan kita bahwa bencana tidak hanya merenggut tanah dan rumah, tetapi juga menyisakan luka panjang bagi keluarga yang ditinggalkan.

Banjarnegara, Bonarinews.com — Di tengah desa yang porak-poranda, tim SAR terus bekerja siang dan malam, mengais setiap jengkal tanah dengan satu harapan sederhana: menemukan korban, apa pun kondisinya, agar keluarga yang menunggu bisa memiliki kepastian.

Memasuki hari ketujuh pencarian pada 22 November, dua jenazah kembali ditemukan. Dengan ditemukannya korban tambahan ini, jumlah warga yang dinyatakan meninggal bertambah menjadi 12 orang. Dari angka itu, dua di antaranya berupa potongan tubuh yang lebih dulu ditemukan dalam operasi sebelumnya. Namun pekerjaan masih jauh dari selesai. Sebanyak 16 orang masih dinyatakan hilang, dan itulah yang membuat operasi ini tidak boleh berhenti hanya karena hari berganti.

Menyadari situasi yang belum tuntas, BNPB dan Basarnas memutuskan memperpanjang operasi pencarian selama tiga hari ke depan. Keputusan ini bukan sekadar administratif, tetapi bentuk sikap bahwa negara tidak ingin meninggalkan keluarga korban dengan tanda tanya. Ada komitmen untuk mencari sampai batas kemampuan terbaik.

Cuaca cerah pada hari itu memberi ruang bagi tim untuk bekerja lebih optimal. Alat berat, sekop, cangkul, dan tangan-tangan letih terus mengurai tumpukan material tanah yang telah menelan pemukiman. Namun upaya tidak hanya dilakukan dari darat. Di udara, sebuah pesawat Cessna Caravan BNPB bermanuver di atas lokasi bencana, menaburkan Kalsium Oksida. Operasi ini bertujuan menghalangi proses pembentukan awan hujan, agar tidak turun hujan yang dapat memperparah kondisi lapangan atau mengancam keselamatan petugas.

Sinergi antara darat dan udara mencerminkan pendekatan penanganan bencana yang semakin terintegrasi. Longsor bukan lagi hanya peristiwa alam, tetapi rangkaian pekerjaan yang membutuhkan teknologi, strategi, dan ketahanan mental. Bagi para petugas, setiap hari adalah perlombaan dengan waktu dan perubahan cuaca. Mereka bukan hanya mencari korban, tetapi menjaga harapan tetap hidup di tengah keluarga yang menunggu kabar.

Bencana Banjarnegara juga membuka mata kita bahwa pencegahan dan kesiapsiagaan harus menjadi urusan bersama. Longsor bukan kejadian yang berdiri sendiri. Ia lahir dari kondisi alam, perubahan iklim, penataan ruang, dan aktivitas manusia yang tidak selalu sejalan dengan keseimbangan lingkungan.

Namun di tengah kesedihan, ada keteguhan yang bisa kita lihat: negara hadir, relawan bergerak, dan masyarakat saling menguatkan. Bencana memang mencederai, tetapi manusia yang bertahan di dalamnya sering kali menampilkan bentuk terbaik dari rasa kemanusiaan.

Operasi ini mungkin akan berakhir dalam beberapa hari ke depan. Namun bagi keluarga korban, perjalanan perasaan tidak berakhir begitu saja. Yang bisa kita lakukan adalah memastikan bahwa pencarian dilakukan sebaik mungkin, dan pelajaran yang diberikan bencana ini tidak hilang begitu tanah mengering kembali. (Redaksi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *