Oleh: Fernando Valentino Jusuf
Kasus mega korupsi timah yang diduga merugikan negara sebesar 271 triliun merupakan guncangan keras bagi fondasi hukum dan demokrasi negara Indonesia. Isu ini melibatkan banyak pihak besar dengan jaringan yang kompleks antara oknum di perusahaan negara (BUMN), perusahaan swasta, dan pejabat daerah.
Fenomena gelap yang terjadi pada Maret 2024 ini menampilkan betapa kronisnya penyakit korupsi yang terjadi dalam pengelolaan sumber daya alam di negara Indonesia. Kerugian yang dialami negara bukan sekedar uang, melainkan terjadi perampasan hak rakyat atas kekayaan alam yang diperintahkan oleh UUD 1945 untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Kasus korupsi timah ini menjadi tantangan negara dalam menguji fundamental, yakni komitmen negara terhadap hukum dan konstitusi yang berlaku. Dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 disampaikan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.
Kasus ini membuktikan, penguasaan negara telah dibajak oleh oknum demi kepentingan pribadi atau pihak tertentu, mengubah kekayaan alam menjadi sumber keuntungan pribadi. Ini adalah krisis kepercayaan yang mengancam kepercayaan rakyat terhadap negara ini.
Argumentasi utamanya: Korupsi timah merupakan pelanggaran besar terhadap prinsip keadilan sosial dan kemakmuran rakyat. Kerugian 271 triliun bukan hanya kerugian finansial, tetapi juga menciptakan kerusakan alam dan sosial yang tak ternilai. Potensi anggaran sebesar itu telah hilang, padahal seharusnya mampu dialokasikan pada pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan akses layanan kesehatan bagi rakyat kurang mampu. Skala kejahatan yang terjadi memperjelas bahwa sistem yang seharusnya menjadi instrumen pemerataan dan keadilan kini telah berubah menjadi sarana utama korupsi aset publik.
Kasus ini menjadi gambaran yang menunjukkan betapa rentannya tata kelola negara terhadap intervensi kekuasaan dan modal. Keterlibatan pihak-pihak dengan posisi strategis dalam struktur BUMN dan pemerintahan menunjukkan adanya kegagalan sistem pengawasan internal dan eksternal.
Demokrasi kita terancam karena sektor-sektor strategis dikendalikan oleh jejaring oligarki yang mampu memanipulasi regulasi, menghindari pajak, dan mengeruk keuntungan secara ilegal tanpa tersentuh demi kepentingan pribadi. Negara Indonesia terlihat seolah-olah hanya menjadi alat bagi sebagian orang untuk melegitimasi penjarahan kekayaan publik.
Argumentasi ketiga berfokus pada tantangan hukum. Kasus ini menuntut keseriusan luar biasa dari aparat penegak hukum, terutama dalam upaya asset recovery (pemulihan aset) dan pembuktian kerugian lingkungan. Hukum harus ditegakkan secara adil hingga ke akar-akarnya, dan diimplementasi tanpa melihat adanya nama “besar” yang terlibat. Jika negara gagal memulihkan kerugian dan memberikan hukuman yang setimpal, maka hal itu akan menjadi pertanda buruk yang menjamin bahwa kejahatan kerah putih dengan nilai fantastis akan terus berulang.
Untuk menjawab krisis ini, pemerintah dan institusi negara harus segera melakukan reformasi total dalam pengelolaan sumber daya alam. DPR harus mengesahkan undang-undang perampasan aset untuk mempermudah pemulihan kerugian negara. KPK dan Kejaksaan harus bekerja tanpa kompromi untuk memastikan semua aset dikembalikan dan pelaku dihukum seberat-beratnya. Masyarakat perlu meningkatkan kontrol sosial dan mendesak transparansi total dalam setiap izin pertambangan. Kejaksaan dan pengadilan harus berani menerapkan tuntutan dan hukuman maksimal tanpa memandang nama “besar”, serta hukuman mati bagi koruptor yang merugikan negara sedemikian besar, sebagai wujud penegasan hukum.
Korupsi timah 271 triliun adalah bencana moral dan ekonomi bangsa. Kesimpulan yang didapat adalah pengungkapan kasus ini menjadi momentum penentuan bagi negara, apakah Indonesia akan tunduk pada pemerintahan yang korupsi atau kembali menegakkan kedaulatan hukum dan konstitusi.
Refleksi yang didapatkan adalah tidak ada toleransi bagi kejahatan yang merampok hak rakyat atas kekayaan alam. Penegasan isi argumentasi adalah keberhasilan penanganan kasus ini akan menjadi tantangan atau ujian besar bagi demokrasi Indonesia dalam membuktikan bahwa hukum masih lebih kuat daripada uang dan kekuasaan.
Penulis adalah Mahasiswa Ukrida Jakarta, Prodi Psikologi Tugas Mata Kuliah Kewarganegaraan.