Pematangsiantar, Bonarinews.com — Peluru itu datang cepat. Menembus paha seorang pemuda, saat ia bertempur di Senen-Tangsi. Sejak itu, tubuh lelaki itu melemah. Penyakit paru-paru memperburuk keadaannya. Ia dirawat dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain. Lalu dipindahkan ke Sanatorium Pakem di Yogyakarta. Di tempat sunyi itu, pada usia yang sangat muda, hidup lelaki itu perlahan padam. Namun sebelum benar-benar hilang, ia meninggalkan jejak yang tidak akan pernah dilupakan.
Lelaki itu tak lain adalah Cornel Simanjuntak. Kisah hidupnya kembali dinyalakan dalam satu diskusi publik yang digelar Ikatan Wartawan Online (IWO) Kota Pematangsiantar, Rabu, 3 Desember 2025, di Gedung MZ, Universitas HKBP Nommensen, Pematangsiantar. Diskusi itu diberi tema sederhana, tetapi bermakna dalam: “Mengenal Lebih Dekat Cornel Simanjuntak.”
Di hadapan peserta diskusi, Hendra Simanjuntak, salah satu narasumber, menyebut Cornel sebagai “melodi kemerdekaan dari Pematangsiantar.” Menurutnya, Cornel bukan hanya menulis lagu. Ia menulis perlawanan. Ia menulis keberanian. Ia menulis suara sebuah bangsa yang ingin merdeka. Lagu-lagu itu masih hidup sampai hari ini, dari generasi ke generasi.
Hendra, yang juga Wakil Rektor 2, Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar, menegaskan, Cornel layak mendapat pengakuan lebih besar. Tidak hanya sebagai komponis, tetapi juga sebagai pejuang. Lagu-lagu seperti “Maju Tak Gentar,” “Sorak-Sorak Bergembira,” dan karya perjuangan lainnya menunjukkan bagaimana Cornel ikut menyuarakan kemerdekaan melalui nada. Dan di medan perang, ia ikut menyuarakannya dengan senjata.
Ia juga menyinggung usia Cornel yang sangat muda saat gugur, hanya 25 tahun. Usia yang bagi banyak anak muda saat ini masih dipakai untuk mencari arah hidup. Namun Cornel sudah memberi sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya. “Kita saat umur 25 belum tentu punya karya nyata. Tapi beliau sudah ikut menggerakkan semangat kemerdekaan, bahkan pernah tertembak,” kata Hendra. Karena itu, menurutnya, Cornel sudah sepantasnya dikenang sebagai pahlawan nasional.
Hendra mengajak masyarakat Indonesia, khususnya Pematangsiantar, untuk menjaga warisan Cornel. Lagu-lagunya adalah bagian dari identitas bangsa. Diskusi ini, katanya, adalah salah satu cara untuk menghargai putra kota yang ikut berjuang dalam masa-masa paling gelap sejarah Indonesia.
Siapakah sebenarnya Cornel yang dibicarakan ini?
Cornel adalah pemuda dari Pematangsiantar yang hidup pada masa kolonial Belanda. Bakat musiknya tumbuh saat ia bersekolah di HIK Muntilan. Di sana ia aktif di paduan suara dan orkes. Pastor J. Schouten dan Ibu Sud melihat potensinya dan mengasahnya. Ia belajar cepat. Tanpa pendidikan musik formal, Cornel mampu menciptakan lagu bernada kuat dan penuh rasa. “Mekar Melatiku” adalah contoh awal dari kepekaan musikalnya.
Saat Jepang menduduki Indonesia, hidupnya berubah keras. Ia bekerja di Keimin Bunka Shidosho, kantor kebudayaan Jepang. Ia hidup dalam tekanan dan kelaparan. Ia harus membuat lagu propaganda. Tapi di balik itu, ia memperkaya teknik musiknya. Ia berdiskusi dengan komponis Jepang, Nobuo Lida. Dari penindasan itu, semangatnya justru tumbuh lebih kuat.
Ketika rakyat bangkit menuntut kemerdekaan, Cornel ikut bergabung dalam perjuangan bersenjata. Ia bertempur di Karawang, Jakarta, dan Yogyakarta. Ia tahu risikonya. Tetapi ia memilih jalan itu. Karena bagi Cornel, musik dan perjuangan bukan dua hal yang terpisah. Keduanya adalah cara untuk menyuarakan cinta tanah air.
Di Sanatorium Pakem, ketika tubuhnya hampir menyerah, Cornel kembali pada perannya sebagai seniman. Ia menciptakan lagu-lagu yang kini menjadi denyut nadi bangsa. “Maju Tak Gentar,” “Tanah Tumpah Darahku,” dan “Indonesia Tetap Merdeka.” Lagu-lagu itu lahir dari seorang pemuda yang sedang menghadapi ajal, tetapi jiwanya tetap berdiri tegak. Mereka adalah hadiah terakhir Cornel untuk Indonesia.
Cornel memang pergi dalam usia 25 tahun. Tetapi suaranya tidak pernah hilang. Lagu-lagunya terus dinyanyikan. Semangatnya terus mengalir. Kisah hidupnya terus menjadi pengingat bahwa cinta tanah air tidak hanya lahir dari kekuatan fisik, tetapi juga dari hati yang tidak mau menyerah.
Melalui diskusi, arsip, dan cerita yang diwariskan, Cornel Simanjuntak kembali hidup. Ia tetap menjadi melodi yang menyatukan perjuangan, harapan, dan identitas bangsa Indonesia. (Redaksi)