Kupang, Bonarinews.com — Aliansi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim di Nusa Tenggara Timur menilai hasil Konferensi Para Pihak COP 30 di Belém, Brasil, tidak menjawab kebutuhan masyarakat yang berada di garis depan krisis iklim.
Dalam pernyataan sikap yang dibacakan di Kupang, Rabu (20/11/2025), Aliansi yang beranggotakan Wahana Lingkungan Hidup Eksekutif Daerah NTT, Sahabat Alam NTT, Solidaritas Perempuan Flobamoratas, MAPALA Universitas Citra Bangsa (UCB), Koalisi Kopi, serta Green Leadership Indonesia (GLI) wilayah NTT ini menegaskan bahwa rangkaian perundingan dalam forum global yang berlangsung tiga minggu lebih itu lebih “condong pada mekanisme pasar dan klaim teknokratis ketimbang perlindungan bagi warga yang sehari-hari berhadapan dengan kekeringan, kerentanan pangan, dan tekanan proyek ekstraktif.”
Sebagai perwakilan Indonesia di COP 30, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menyebut Indonesia tengah memperkuat jalur transisi energi dan menargetkan transaksi karbon senilai Rp16 triliun dari sektor kehutanan, kelautan, energi, hingga industri. Target itu diklaim Hanif disertai dengan rencana menggalang hingga 90 juta ton CO₂ melalui kredit karbon.
Namun bagi Aliansi, fokus yang ditargetkan pemerintah ini lebih dominan memperlihatkan orientasi pada akumulasi nilai ekonomi, bukan pada penyelesaian akar persoalan yang dialami masyarakat di wilayah rentan seperti NTT.
Gres Gracelia, Pengkampanye Keadilan Ekologis WALHI NTT memaparkan, promosi energi hijau justru membuka ruang bagi ekspansi proyek yang mempersempit ruang hidup warga.
Keberadaan geotermal, perkebunan monokultur, hingga kawasan pariwisata skala besar, katanya, justru malah memperkuat pola pembangunan yang mengabaikan pemulihan ekologis di tingkat lokal.
Ia menegaskan, banyak wilayah di Flores dan pulau-pulau lain menghadapi tekanan berlapis: risiko ekologis meningkat, sementara suara masyarakat cenderung dikesampingkan dalam perencanaan proyek.
Data riset WALHI dan CELIOS pada 2024 memperlihatkan bahwa proyek panas bumi di Wae Sano, Sokoria, dan Ulumbu tidak hanya mengancam bentang alam, tetapi juga menggerus pendapatan petani. Kerugian ekonomi diperkirakan mencapai Rp470 miliar pada masa pembangunan, sementara output ekonomi yang hilang menembus Rp1,09 triliun dalam dua tahun awal. Pada saat yang sama, kajian IRID menemukan bahwa kenaikan suhu dan perubahan pola cuaca di NTT kini mengancam padang rumput, kawasan hutan kering, dan ekosistem laut yang menopang kehidupan pesisir.
Senada, Linda Tagie dari Solidaritas Perempuan Flobamoratas menyoroti bahwa COP 30 kembali gagal menghadirkan perlindungan bagi perempuan, masyarakat adat, petani, dan nelayan.
Ia menjelaskan, berbagai proyek energi terbarukan—termasuk di Poco Leok, Mataloko, dan Wae Sano—menghambat akses perempuan terhadap sumber air, memperberat kerja domestik, dan meningkatkan kerentanan mereka terhadap kekerasan berbasis gender.
Komitmen menuju nol emisi 2060, katanya, “tidak akan berarti tanpa kebijakan yang berpihak pada kelompok-kelompok ini.”
Dari kelompok mahasiswa, Maria Ana Kristina Bara dari MAPALA Universitas Citra Bangsa menilai COP semakin menjauh dari esensi realitas warga terdampak.
Menurutnya, forum itu telah bergeser menjadi arena transaksi berbasis perdagangan karbon.
“Dampaknya terasa pada warga Poco Leok yang menghadapi proses pembebasan lahan, masyarakat Sabu yang terus mengalami kekurangan air bersih, serta petani di Kefamenanu yang berulang kali gagal panen akibat cuaca ekstrem, katanya.
Kritik lain datang dari aktivis perempuan, Ainun Azizah Tasmira Salwa dari Green Leadership Indonesia (GLI) Wilayah NTT yang berkata bahwa “anak muda berada di garis paling depan menghadapi krisis air, perluasan sampah, dan degradasi pesisir, tetapi tidak dilibatkan secara substansial dalam perumusan kebijakan.”
Menurutnya, partisipasi inklusif yang sering digaungkan pemerintah dan delegasi internasional masih terpaku pada hal-hal yang berbau seremoni.
Berdasarkan temuan dan pengalaman lapangan itu, Aliansi dalam pernyataan sikapnya menyampaikan sejumlah tuntutan.
Mereka menekankan bahwa pembaruan komitmen iklim (NDC) Indonesia harus terukur serta berhubungan langsung dengan perlindungan ruang hidup, bukan sekadar perluasan proyek energi.
Selain itu, pendanaan iklim global diminta diarahkan pada adaptasi masyarakat pesisir, pemulihan ekosistem, penguatan pangan lokal, dan peningkatan kapasitas warga di wilayah rentan.
Percepatan energi terbarukan juga menurut Aliansi harus diawali evaluasi menyeluruh terhadap proyek yang sudah berjalan dan mengutamakan kondisi ekologis setempat.
Prinsip persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan secara penuh (FPIC) juga dinilai harus menjadi dasar dalam setiap keputusan nasional maupun daerah.
Di sisi yang lain, Aliansi kembali menolak kebijakan Kementerian ESDM yang menetapkan Flores sebagai “Geothermal Island” sejak 2017.
Mereka menilai kebijakan ini memperluas ruang bagi proyek geotermal tanpa kajian sosial-ekologis yang memadai dan tanpa partisipasi warga yang tinggal di dalam maupun sekitar wilayah rencana eksplorasi.
Tanpa perubahan mendasar, kata mereka, komitmen iklim hanya akan memperkuat praktik lama yang menjadikan tanah, air, dan ekosistem sebagai komoditas.
Pernyataan itu ditutup dengan seruan agar pemerintah menolak keputusan COP 30 yang tidak berpijak pada perlindungan warga di tingkat tapak.
Aliansi meminta agar proyek energi dan skema karbon yang mengabaikan partisipasi publik dihentikan, dan pendanaan iklim diarahkan pada masyarakat terdampak.
Bagi mereka, keberhasilan kebijakan iklim tidak diukur dari diplomasi di ruang konferensi, melainkan dari perubahan nyata di wilayah seperti NTT yang terus memikul beban krisis. (Wuran)