Bubur Kacang Hijau: Cerita di Balik Pengabdian

Bagikan Artikel

Setiap Rabu di Jara-jara, aku dan rekan-rekan guru memiliki rutinitas istimewa: membagikan bubur kacang hijau kepada anak-anak berseragam merah putih. Kegiatan ini tidak hanya menjadi momen berbagi, tetapi juga mencerminkan pelajaran kehidupan yang mendalam.

Sebelum membagikan bubur, kami mengatur anak-anak untuk berbaris dengan rapi. Guru-guru lainnya turut membantu merapikan barisan. Ada aturan khusus yang kami terapkan: siswa yang membawa kayu bakar dan kelapa untuk memasak bubur akan mendapatkan prioritas. Mereka tidak hanya mendapatkan bubur lebih awal, tetapi juga bisa menambah porsi jika masih ingin.

Biasanya, aku sendiri yang menuangkan bubur ke mangkuk-mangkuk mereka. Namun, hari ini aku hanya membagikan bubur yang sudah diisi dalam cangkir-cangkir. Meskipun begitu, semuanya tetap berada dalam pengawasanku. Aturan bahwa yang membawa kayu bakar dan kelapa harus dilayani terlebih dahulu adalah inisiatifku.

Namun, hari ini terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Saat aku sibuk membagikan bubur sambil mengingatkan anak-anak untuk rajin sekolah, seorang guru yang juga orang tua dari salah satu anak kelas satu datang dengan marah. Anak tersebut hanya mendapatkan setengah cangkir bubur, yang sebenarnya adalah porsi sama dengan anak-anak lainnya yang tidak membawa kayu bakar.

Guru itu langsung memarahi yang bertugas menyendoki bubur dan mengarahkan kemarahannya padaku, memanggilku “sekakar,” yang berarti pelit dalam bahasa daerah. Ia merasa anaknya diperlakukan tidak adil meskipun mendapatkan porsi yang sama dengan anak-anak lain yang tidak membawa kayu.

Amarahnya semakin memuncak ketika ia mencoba menuangkan bubur ke dalam termos yang masih berisi bubur. Aku berusaha menahannya dan menutup termos sambil berbicara dengan tenang bahwa tidak baik menuangkan bubur di sana. Namun, ia semakin marah dan menuangkan bubur tersebut ke tanah. Kejadian ini membuat Ibu SM, yang bertanggung jawab memasak bubur, merasa sangat sedih dan diperlakukan tidak adil.

Kami kemudian berbicara di kantor. Ibu SM mencurahkan perasaannya tentang betapa lelahnya ia bangun pagi-pagi untuk memasak bubur, hanya untuk melihat makanan tersebut dibuang karena dianggap kurang. Ia bercerita sambil menghapus air mata, mengungkapkan rasa tidak dihargainya.

Aku berterima kasih kepada Ibu SM atas dedikasinya. Aku merasa bangga pada beliau yang selalu siap memasak bubur kacang hijau tanpa pernah menuntut apa-apa. Baginya, memasak bubur adalah bentuk pelayanan, dan sisa bubur hanya diambil setelah semua anak-anak mendapatkan bagiannya.

Insiden ini mengingatkanku pada kisah Esau yang menjual hak kesulungannya. WK, dengan amarahnya, seolah-olah menjual wibawanya sebagai pendidik di depan anak-anak yang menyaksikan insiden tersebut dengan diam.

Ketika pulang, aku dan rekan-rekan guru bersyukur karena tidak terpancing oleh provokasi WK. Meskipun ia mulai mencari-cari kesalahanku, seperti mengkritik lagu daerah yang kuajarkan kepada anak-anak, aku tetap berusaha tenang. Cerita cepat menyebar di desa, dan meskipun tidak secepat cahaya, dalam waktu singkat anak-anak menjadi pembawa cerita kepada orang tua mereka.

Pengalaman ini mengajarkan bahwa dalam setiap tindakan sederhana, seperti membagikan bubur kacang hijau, terdapat pelajaran berharga tentang kesabaran, pelayanan, dan menjaga integritas. Aku berharap semoga kita semua semakin dibaharui setiap harinya, menghadapi tantangan dengan hati yang bijak dan tenang. (Devilaria Damanik)

2 thoughts on “Bubur Kacang Hijau: Cerita di Balik Pengabdian

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *