Oleh: Josephine Christiana
Tragedi yang menimpa mahasiswa Universitas Udayana, Timothy Anugerah Saputra, kembali mengetuk hati publik. Ia ditemukan dalam kondisi kritis di area kampus pada Oktober 2023, sebelum akhirnya meninggal dunia. Polisi masih menyelidiki penyebab pastinya, termasuk kemungkinan tekanan psikologis yang dialami sebelum insiden terjadi. Kasus ini mencuat setelah beredar percakapan grup mahasiswa yang bernada merendahkan korban—percakapan yang menunjukkan betapa dangkalnya empati di lingkungan yang seharusnya mencerdaskan.
Pihak kampus telah memberikan sanksi administratif. Namun bagi masyarakat, munculnya sikap semacam itu di kalangan mahasiswa sudah cukup menjadi tanda bahaya. Ada yang tidak beres dalam budaya pergaulan di dunia pendidikan kita.
Dan ini bukan kasus tunggal. UNICEF Indonesia mencatat ratusan ribu anak dan remaja mengalami perundungan setiap tahun, baik di sekolah maupun di ruang digital. Banyak yang memilih diam karena takut, malu, atau merasa tak ada pihak yang bisa dipercaya. Ini menegaskan satu hal: bullying bukan perilaku iseng. Ia adalah masalah sistemik yang terus berulang dari generasi ke generasi.
Di titik ini, pertanyaan penting muncul: apa gunanya pendidikan jika gagal menumbuhkan moral dan empati?
Sekolah dan kampus sering bangga dengan prestasi, akreditasi, kompetisi, dan program unggulan. Namun terlalu sering, aspek paling dasar justru terabaikan—keamanan emosional peserta didik dan penghargaan terhadap martabat manusia. Ketika institusi lebih sibuk menjaga nama baik daripada melindungi korban, maka tragedi berikutnya hanya menunggu waktu.
Padahal, pendidik memegang peran kunci. Guru dan dosen bukan sekadar penyampai teori, tetapi penjaga ruang belajar yang harus aman secara psikologis. Tanpa kepekaan terhadap tanda-tanda perundungan, korban kehilangan tempat untuk berlari, sementara pelaku merasa tidak tersentuh oleh konsekuensi.
Kasus Timothy menjadi pengingat keras bahwa perundungan tidak akan berhenti hanya karena kita menyebutnya masalah kecil. Jika pendidikan berjalan tanpa nilai moral, tanpa empati, tanpa perlindungan, maka kita sedang membangun generasi yang unggul secara akademik tetapi rapuh dan dingin secara kemanusiaan.
Pendidikan seharusnya menjadi ruang tumbuh yang sehat—bukan tempat di mana luka batin dibiarkan menganga dalam diam. Ini saatnya berhenti menutup mata. Bullying bukan sekadar kenakalan; ia bisa mematahkan hidup, bahkan merenggut nyawa.
Penulis adalah Mahasiswa Universitas Kristen Krida Wacana (Ukrida) Jakarta,
Program Studi Psikologi. (*)