Oleh: Jennifer Kelly Willyanto, Haykel Alfaizin Harianja, Agnes Debora Jani Susanto
Memasuki usia 20 hingga 25 tahun, banyak pekerja muda berada pada fase kehidupan yang penuh tuntutan. Di satu sisi, mereka dituntut untuk mandiri secara finansial dan profesional di dunia kerja. Di sisi lain, tidak sedikit dari mereka yang juga aktif melayani di gereja sebagai wujud pengabdian dan pencarian makna spiritual. Menjalani dua peran besar ini secara bersamaan bukan perkara mudah.
Kombinasi antara target pekerjaan, tekanan karier, dan tanggung jawab pelayanan sering kali menuntut manajemen waktu serta energi yang tidak sederhana. Dalam praktiknya, banyak pekerja muda mengalami kesulitan memisahkan urusan kerja, kehidupan pribadi, dan pelayanan. Akibatnya, kelelahan mental kerap muncul dan, jika dibiarkan, dapat berkembang menjadi stres berkepanjangan hingga burnout.
Burnout ditandai oleh kelelahan emosional, menurunnya motivasi, serta berkurangnya rasa pencapaian diri. Ironisnya, meski pelayanan gereja sering dipandang sebagai ruang pemulihan batin, ketika tidak dikelola secara sehat, aktivitas ini justru dapat menambah beban fisik dan psikologis. Hal ini terutama dirasakan oleh pekerja muda yang sudah lebih dulu tertekan oleh tuntutan pekerjaan.
Berangkat dari kondisi tersebut, sebuah kegiatan psikoedukasi diselenggarakan untuk meningkatkan pemahaman tentang pentingnya work–life balance bagi pekerja muda yang aktif melayani di gereja. Kegiatan ini dilaksanakan secara luring di salah satu gereja di Jakarta pada awal November 2025, dengan melibatkan sepuluh peserta yang bekerja penuh waktu maupun paruh waktu.
Kegiatan diawali dengan pengisian kuesioner guna memetakan kondisi awal peserta, khususnya terkait keseimbangan peran dan tingkat kelelahan yang dirasakan. Selanjutnya, peserta mengikuti sesi psikoedukasi mengenai pentingnya menetapkan batas peran, mengelola waktu secara realistis, serta menerapkan strategi koping untuk menghadapi stres. Sesi diskusi dan berbagi pengalaman kemudian menjadi ruang refleksi bersama, di mana peserta dapat saling belajar dari kisah satu sama lain.
Hasil evaluasi menunjukkan dampak yang cukup positif. Peserta menjadi lebih mampu memisahkan waktu kerja, pelayanan, dan kehidupan pribadi. Gangguan pikiran terkait pekerjaan di luar jam kerja berkurang, pengelolaan energi terasa lebih terarah, dan tingkat kelelahan emosional cenderung menurun. Kesadaran akan batas kemampuan diri juga meningkat, termasuk pemahaman bahwa istirahat bukanlah bentuk kemalasan, melainkan kebutuhan.
Psikoedukasi ini membantu peserta melihat bahwa keseimbangan hidup bukan berarti mengurangi komitmen, melainkan mengelola peran secara lebih bijak. Dengan pemahaman yang lebih baik mengenai work–life balance, pekerja muda diharapkan dapat menjalani karier dan pelayanan secara berkelanjutan tanpa mengorbankan kesehatan mental.
Ke depan, perhatian terhadap kesejahteraan psikologis generasi muda, khususnya mereka yang aktif melayani, menjadi hal yang semakin penting. Pelayanan yang sehat lahir dari individu yang utuh, mampu bekerja, melayani, dan merawat dirinya sendiri secara seimbang.
Tim Penulis adalah mahasiswa Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA), Jakarta, Program Studi Psikologi.