Oleh: Mardi Panjaitan*)
Selama ini, banyak anak berkebutuhan khusus (ABK) maupun anak reguler yang mengalami kesulitan belajar harus menunggu terlalu lama sebelum mendapatkan bantuan. Mereka baru dianggap “berhak” mendapat layanan khusus setelah berkali-kali gagal di kelas, setelah nilainya merosot, atau setelah perilakunya dianggap bermasalah. Pertanyaannya: mengapa kita menunggu anak-anak itu gagal dulu baru menolong?
Di sinilah Response to Intervention (RTI) hadir sebagai jalan baru dalam pendidikan. RTI adalah sebuah pendekatan yang menekankan deteksi dini, intervensi berjenjang, dan pemantauan berkelanjutan. Bukan sekadar konsep, melainkan strategi nyata yang bisa mencegah kesulitan kecil berkembang menjadi masalah besar.
Mengapa RTI Penting untuk ABK?
RTI memastikan setiap anak, tanpa terkecuali, mendapatkan kesempatan belajar dengan cara yang sesuai kebutuhannya. Anak yang tampak kesulitan langsung diberi intervensi tambahan, bukan dibiarkan terseret arus. Dengan RTI, guru dapat:
- mendeteksi dini kesulitan belajar dan perilaku,
- memberi intervensi sesuai tingkat kebutuhan,
- mengurangi salah identifikasi ABK karena faktor lingkungan,
- serta menentukan layanan khusus berdasarkan data perkembangan anak, bukan sekadar asumsi.
Artinya, RTI menempatkan anak pada pusat proses belajar, bukan hanya kurikulum atau standar nilai.
Tiga Tingkatan Intervensi
RTI bekerja melalui sistem berjenjang. Tier 1 adalah pembelajaran berkualitas untuk semua siswa di kelas reguler. Tier 2 memberi intervensi tambahan bagi anak yang membutuhkan, misalnya melalui kelompok kecil atau remedial. Tier 3 adalah intervensi intensif individual, seperti program pendidikan individual (IEP), terapi wicara, atau layanan khusus di SLB.
Model ini fleksibel, adaptif, dan berbasis data. Anak tidak akan dicap gagal lebih dulu, karena setiap langkah dipantau dan dicatat untuk menentukan intervensi berikutnya.
Tantangan di Indonesia
Tentu, penerapan RTI di Indonesia tidak mudah. Keterbatasan guru pendamping, minimnya pemahaman orang tua, dan kurangnya sumber daya masih menjadi tantangan besar. Namun, bukan berarti mustahil. Di SLB Negeri Pembina Sumatera Utara, kami mulai menerapkan pendekatan ini meski perlahan. Dengan komitmen bersama antara guru, kepala sekolah, orang tua, hingga masyarakat, RTI dapat diimplementasikan secara efektif.
Pendidikan yang Tidak Lagi Diskriminatif
Lebih dari sekadar metode, RTI adalah cara pandang baru: pendidikan tidak boleh diskriminatif. Semua anak berhak mendapat kesempatan yang sama untuk berkembang sesuai potensinya. RTI menolak logika “tunggu gagal dulu baru ditolong.” Sebaliknya, ia mengajarkan bahwa intervensi dini jauh lebih berharga daripada menunggu anak kehilangan waktu emasnya.
Penutup
Pendidikan yang baik bukanlah yang membuat semua anak seragam, melainkan yang mampu memelihara keunikan dan keberagaman mereka. Dengan RTI, sekolah bisa menjadi ruang inklusif, tempat anak-anak tumbuh kuat, mandiri, dan berdaya. Sudah saatnya kita berhenti menunggu anak gagal. Mari kita bergerak bersama, karena setiap anak punya hak untuk berhasil.
*) Penulis adalah Kepala SLB Negeri Pembina, dan saat ini sedang menempuh pendidikan Magister di Program Pasca Sarjana Jurusan Pendidikan Khusus Universitas Negeri Padang (UNP).