Hujan deras yang turun tanpa jeda selama beberapa hari terakhir mengubah banyak sudut Sumatera Utara menjadi wilayah yang penuh air, lumpur, dan cerita tentang kehilangan. Di sejumlah kabupaten dan kota, bencana datang bukan sebagai satu peristiwa tunggal, tetapi bertubi-tubi—tanah longsor, banjir, hingga pohon tumbang—yang meluluhlantakkan rumah warga dan merenggut nyawa.
Data terbaru mencatat 20 peristiwa bencana tersebar di Tapanuli Tengah, Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, Kota Sibolga, dan Nias. Sebanyak 19 warga menjadi korban, 10 di antaranya meninggal dunia, sementara 6 lainnya masih dicari dalam kondisi penuh ketidakpastian. Sebanyak 2.393 kepala keluarga harus menerima kenyataan rumah mereka terdampak, dan 445 warga terpaksa mengungsi demi keselamatan.
Namun di balik angka-angka itu, ada wajah-wajah manusia yang mencoba bertahan.
Rumah yang Hanyut, Kenangan yang Tersisa
Di Tapanuli Tengah, satu keluarga kehilangan anggota keluarganya ketika longsor datang tiba-tiba pada pagi hari. Di Mandailing Natal, para emak-emak bergegas menggendong anak mereka menyeberangi air yang terus naik. Sementara di Sibolga—wilayah yang mencatat korban terbanyak—warga menunggu kabar sanak keluarga yang hilang, berharap mereka masih bisa ditemukan selamat.
Setiap daerah punya cerita yang mirip: malam panjang, pengungsian apa adanya, dan usaha melindungi keluarga dari bahaya berikutnya.
Aparat Berkerja Tanpa Menunggu Siang
Sejak laporan pertama masuk, Polri dan unsur gabungan langsung bergerak. Tim Brimob, BPBD, Basarnas, TNI, tenaga medis, hingga relawan turun ke lokasi dengan tugas yang sama: menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa dan membuka kembali akses yang terputus.
Di Jalan Lintas Padang Sidempuan–Tarutung, satu regu Brimob bekerja mengevakuasi warga sambil mengatur lalu lintas, menunggu alat berat menembus lumpur tebal. Di Desa Parsalakan, regu lain membantu warga menuruni jalan yang terputus agar bisa mencapai lokasi aman. Di Gunungsitoli, jalan di Desa Hiligodu yang tertutup longsor menjadi fokus pembukaan jalur karena itu satu-satunya akses warga.
Sementara itu, tim medis menyusuri titik pengungsian untuk memastikan layanan kesehatan tidak terputus, dan unit komunikasi bertugas memastikan setiap perkembangan bisa segera dilaporkan.
Malam hari, saat sebagian besar warga mulai beristirahat, pasukan baru kembali diberangkatkan—dua tim Samapta, dua unit Dokkes, dan tim teknologi informasi—untuk memperkuat dukungan penanganan di lapangan.
Tidak Hanya Bencana Alam
Bencana memang datang salah satunya akibat curah hujan ekstrem. Tetapi bagi banyak keluarga yang terdampak, bencana bukan hanya tentang air dan tanah yang bergerak. Ia adalah kehilangan mata pencaharian, tabungan keluarga, sekolah anak-anak, dan rasa aman yang selama ini menjadi dasar kehidupan.
Ketika rumah hanyut atau rusak parah, warga harus memulai segalanya dari awal. Ketika korban belum ditemukan, keluarga harus bersiap menghadapi skenario terburuk. Namun ketika bantuan datang, walau sederhana, ada harapan yang ikut datang bersama.
Di Tengah Gelap, Warga Masih Menyalakan Cahaya
Di pengungsian, anak-anak masih bisa bermain meski sederhana. Warga saling membantu—memasak, berbagi pakaian, dan menguatkan satu sama lain. Ketika banjir naik atau longsor melanda lagi, mereka bergerak bersama.
Karena walau Sumatera Utara sedang dilanda bencana, masyarakatnya tidak pernah benar-benar sendiri. Masih ada tangan yang menarik, memanggul, mendata, dan menenangkan. Masih ada doa yang dipanjatkan dari rumah ibadah kecil hingga posko darurat. Dan yang terpenting, masih ada harapan yang tidak ikut terbawa arus banjir.
Bencana mungkin merusak rumah, tetapi tidak menghancurkan keberanian. Ia mungkin menelan wilayah, tetapi tidak memadamkan rasa kemanusiaan. Di Sumatera Utara hari-hari ini, itulah yang membuat warga tetap berdiri dan menatap esok dengan tekad sama:
Selama masih ada nyawa dan tangan untuk saling menggenggam, mereka tidak akan menyerah. (Redaksi)