Bencana di Sumatera: Siapa Sebenarnya yang Bertanggung Jawab?

Bagikan Artikel

Oleh: Adelia Isni Riyani

Bencana ekologis di Sumatera kembali terjadi. Banjir besar dan longsor datang silih berganti pada akhir 2025. Pulau yang dulu dikenal sebagai rumah hutan tropis kini berubah menjadi wilayah rawan bencana. Penyebabnya jelas: hutan hilang, tanah rusak, dan alam kehilangan penyangganya.

Penebangan hutan terus terjadi. Ada yang legal, ada yang ilegal. Semuanya meninggalkan jejak kerusakan. Namun yang paling disorot adalah lemahnya penegakan hukum. Pemerintah seharusnya menjadi pihak pertama yang menjaga hutan, tetapi kenyataannya pengawasan sering longgar. Banyak pelanggaran tidak pernah ditindak.

Dalam beberapa tahun terakhir, laporan lembaga lingkungan menunjukkan lonjakan deforestasi di Sumatera. Daerah aliran sungai banjir. Perbukitan longsor. Rumah rusak, korban jatuh, dan masyarakat menjadi pihak yang paling menderita. Semua ini bukan bencana tiba-tiba. Ini akumulasi dari kebijakan yang buruk, pengawasan yang lemah, dan sikap abai terhadap alam.

Kegagalan pemerintah terlihat jelas. UUD 1945 memberi amanat untuk melindungi lingkungan demi generasi sekarang dan mendatang. Tetapi praktiknya, izin pembukaan hutan sering diberikan tanpa mempertimbangkan dampak ekologis. Kepentingan ekonomi jangka pendek mengalahkan keselamatan masyarakat. Prioritas publik terabaikan.

Selain itu, peran masyarakat juga lemah. Banyak warga melihat penebangan, tetapi takut melapor. Ada juga yang bingung harus melapor ke mana. Literasi lingkungan rendah. Padahal masyarakat adalah pengawas pertama di lapangan. Tanpa suara warga, pengawasan menjadi tumpul.

Masalah lain muncul dari buruknya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Izin lahan sering diberikan tanpa mempertimbangkan tata ruang. Kebijakan tidak sinkron. Celah regulasi dimanfaatkan untuk membuka hutan seluas-luasnya. Akibatnya, ketika terjadi pelanggaran, proses penindakan berjalan lambat. Pelaku bebas beroperasi.

Untuk menghentikan siklus ini, semua pihak harus bertindak tegas. Pemerintah wajib memperkuat penegakan hukum. Pengawasan harus ketat. Perusahaan yang melanggar harus ditindak. Partisipasi masyarakat perlu ditingkatkan melalui edukasi, kelompok pengawas hutan, dan jalur pelaporan yang aman. Koordinasi pusat dan daerah harus diperbaiki melalui kebijakan tata ruang yang jelas. Reboisasi dan pemulihan ekosistem harus dilakukan besar-besaran.

Bencana di Sumatera bukan hanya persoalan alam. Ini cermin kegagalan moral dan kegagalan negara dalam menjaga lingkungan. Jika penebangan terus dibiarkan, generasi mendatang akan menanggung akibatnya.

Kita membutuhkan negara yang hadir, masyarakat yang berdaya, dan pengelolaan lingkungan yang benar. Kewarganegaraan bukan hanya identitas. Ia adalah komitmen menjaga bumi agar tetap layak dihuni.

Penulis adalah Mahasiswa Ukrida Jakarta, Prodi Psikologi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *