Bencana Alam di Sumatera: Siapa yang Harus Disalahkan?

Bagikan Artikel

Oleh: Dhea Nathania Kadarusman

Belakangan ini, Pulau Sumatera kembali diterjang bencana besar. Hujan deras dan cuaca ekstrem memicu banjir, tanah longsor, dan angin kencang di beberapa provinsi, seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh. Pemerintah, melalui BNPB dan pemerintah daerah, telah menetapkan status tanggap darurat untuk mengevakuasi warga dan menyalurkan bantuan.

Namun, data korban sangat memprihatinkan. Ratusan jiwa meninggal, banyak keluarga kehilangan tempat tinggal, dan akses ke sejumlah daerah terputus akibat longsor dan banjir. Bencana ini kembali menegaskan bahwa Sumatera termasuk wilayah rawan hidrometeorologi, longsor, dan potensi gempa.

Pertanyaan pun muncul: apakah bencana ini semata karena alam yang ‘marah’ dan takdir, atau akibat kelalaian manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam secara sembarangan? Saya berpendapat bahwa bencana ini harus menjadi momentum bagi pemerintah dan masyarakat untuk memperkuat sistem mitigasi dan infrastruktur tanggap darurat.

Kondisi geografis Sumatera menuntut drainase yang baik, sistem peringatan dini, jalur evakuasi, dan akses logistik yang memadai jauh sebelum bencana terjadi. Pemerintah juga perlu menegakkan aturan pemanfaatan sumber daya alam, khususnya menjaga hutan dan daerah resapan air. Tanpa kesiapan proaktif, kita hanya bereaksi setelah bencana terjadi, yang selalu berujung pada korban jiwa dan kerugian besar.

Bencana di Sumatera bukan hanya “alam yang marah”, tetapi juga peringatan akibat buruknya pengelolaan lingkungan. Deforestasi, alih fungsi lahan, dan pembangunan tanpa memperhatikan karakter alam memperbesar risiko longsor dan banjir. Oleh karena itu, kebijakan tata ruang harus diperkuat, kawasan hutan dilindungi, dan pembangunan harus selaras dengan kelestarian lingkungan.

Selain pemerintah, peran masyarakat sangat penting. Edukasi tentang risiko bencana, jalur evakuasi, dan adaptasi terhadap perubahan iklim harus diberikan agar korban tidak bertambah akibat ketidaksiapan. Komunitas yang tangguh dan sadar risiko dapat meminimalkan dampak bencana, menciptakan budaya kewaspadaan jangka panjang, bukan sekadar “bersih-bersih setelah bencana”.

Langkah konkret yang bisa dilakukan meliputi: mempercepat pembangunan dan perbaikan infrastruktur mitigasi, seperti tanggul, drainase, dan jalur evakuasi; memperkuat sistem peringatan dini; menegakkan kebijakan lingkungan dan tata ruang; serta melibatkan masyarakat aktif dalam mitigasi dan tanggap darurat.

Bencana di Sumatera bukan sekadar tragedi, tetapi panggilan keras bagi pemerintah dan masyarakat untuk memahami bahwa mitigasi, tanggung jawab lingkungan, dan kesadaran kolektif adalah prioritas yang tidak bisa ditunda. Jika kita abai, bencana akan terus berulang. Namun, jika kita belajar dari peristiwa ini, kita bisa membangun Sumatera yang tangguh, lestari, dan aman bagi masyarakat di masa depan. (*)

Penulis adalah Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA), Program Studi Psikologi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *