Belajar dari Deretan Bencana di Sumatera Utara

Bagikan Artikel

Deretan bencana yang menghantam Sumatera Utara dalam beberapa hari terakhir bukan sekadar rangkaian angka. Di balik 221 kejadian dan 212 korban yang tercatat, ada keluarga yang kehilangan orang tersayang, rumah-rumah yang hancur, serta ribuan warga yang terpaksa mengungsi. Semua ini menunjukkan satu hal: kita belum benar-benar siap menghadapi cuaca ekstrem yang datang semakin sering.

Memang, hujan deras tanpa henti selama beberapa hari memicu banjir dan longsor di banyak wilayah. Namun intensitas hujan saja tidak cukup menjelaskan mengapa kerusakan begitu besar. Kondisi lingkungan yang melemah selama bertahun-tahun ikut memperparah situasi.

Dalam sejumlah video yang viral di media sosial, terlihat gelondongan kayu besar terseret arus sungai. Pemandangan itu seharusnya menjadi alarm keras bagi kita semua. Batang-batang kayu itu tentu tidak tumbang sendiri atau jatuh dari langit; keberadaannya mengindikasikan adanya penebangan hutan yang selama ini “dibiarkan”.

Pembalakan hutan, baik legal maupun ilegal, perlahan menggerogoti benteng alam kita. Ketika tutupan hutan hilang, tanah kehilangan kemampuannya menahan air. Akibatnya, hujan yang turun perlahan-lahan berubah menjadi bencana: longsor, banjir bandang, dan luapan sungai yang tak lagi terbendung. Pada akhirnya, masyarakat di hilir yang menanggung akibat paling berat.

Di tengah situasi sulit ini, Polda Sumut dan seluruh tim gabungan bergerak cepat. Akses yang tertutup dibersihkan, pencarian korban dilakukan siang dan malam, dan ribuan pengungsi mendapatkan bantuan darurat. Upaya ini patut diapresiasi, terlebih ketika sebagian wilayah terputus jaringan komunikasi dan kondisi medan begitu menantang.

Namun, penanganan darurat bukanlah tujuan akhir. Bencana kali ini harus menjadi bahan refleksi penting. Sudahkah pemerintah memetakan area rawan longsor dan banjir secara akurat? Sudahkah pengawasan hutan diperketat, bukan hanya di atas kertas? Sudahkah peringatan dini cuaca ekstrem diterjemahkan menjadi langkah nyata di tingkat desa dan kecamatan?

Sumatera Utara tidak bisa terus mengandalkan respons cepat setiap kali bencana datang. Yang kita butuhkan adalah pencegahan yang serius dan pengelolaan lingkungan yang bertanggung jawab. Tanpa itu, kejadian-kejadian seperti ini hanya akan berulang, semakin parah, dan semakin memakan korban.

Koordinasi antarwilayah juga harus diperkuat. Air mengalir tanpa mengenal batas administrasi. Kerusakan hutan di satu kabupaten bisa memicu banjir besar di kabupaten lain. Karena itu, semua daerah di Sumatera Utara perlu melihat persoalan ini sebagai tanggung jawab bersama, bukan beban satu pihak.

Kini, fokus terbesar tetap pada para korban: warga yang masih hilang, keluarga yang berduka, dan ribuan pengungsi yang menunggu kepastian. Mereka membutuhkan lebih dari sekadar bantuan jangka pendek. Mereka menunggu jaminan bahwa daerah mereka akan dipulihkan, diperbaiki, dan dibuat lebih aman dari sebelumnya.

Bencana memang tidak bisa sepenuhnya dicegah. Tetapi dampaknya bisa dikurangi jika kita menjaga alam dengan baik dan menegakkan aturan dengan tegas. Tragedi yang terjadi hari-hari ini harus menjadi pengingat bahwa kelalaian terhadap lingkungan pada akhirnya kembali menghantam manusia.

Kita tidak boleh menunggu bencana berikutnya untuk belajar lagi. Semestinya, kita belajar sekarang—dan bertindak sekarang. (Redaksi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *