Banjir Batang Toru Renggut Orangutan Tapanuli, Habitat Pegunungan Rusak Parah

Bagikan Artikel

TAPANULI, Bonarinews.com— Dampak banjir dan longsor di kawasan pegunungan Batang Toru, Sumatra Utara, kembali menelan korban dari kelompok paling rentan: satwa liar. Seekor orangutan tapanuli, spesies kera besar paling langka di dunia, ditemukan mati tertimbun lumpur dan kayu gelondongan di wilayah Pulo Pakkat, Kabupaten Tapanuli Tengah, awal Desember lalu.

Temuan tersebut memperkuat kekhawatiran para ahli bahwa bencana yang terjadi pada 25 November 2025 tidak hanya menghancurkan permukiman dan merenggut nyawa manusia, tetapi juga memukul keras populasi satwa endemik yang selama ini hidup tersembunyi di hutan pegunungan.

Relawan kemanusiaan yang terlibat dalam evakuasi korban banjir mengungkapkan bahwa bangkai orangutan ditemukan setelah warga mencurigai adanya jasad di antara timbunan material longsor. Kondisi tubuh satwa itu rusak parah, diduga akibat terseret arus banjir dan tertimbun material kayu dari kawasan hulu.

Pakar konservasi orangutan menegaskan bahwa temuan tersebut hampir pasti merupakan orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis), spesies yang baru diidentifikasi pada 2017 dan kini diperkirakan hanya tersisa kurang dari 800 individu di alam liar. Habitatnya terbatas pada hutan pegunungan Batang Toru, yang kini mengalami kerusakan serius akibat longsor skala besar.

Wilayah tempat bangkai ditemukan berada di sisi barat habitat orangutan tapanuli, kawasan yang diperkirakan dihuni ratusan individu. Hingga kini, belum ada perhitungan pasti berapa banyak orangutan yang terdampak atau mati akibat bencana tersebut. Namun para ahli sepakat, satu temuan bangkai sudah cukup menjadi sinyal buruk bagi kelangsungan spesies ini.

Analisis awal berbasis citra satelit menunjukkan ribuan hektare hutan di lereng pegunungan Batang Toru runtuh akibat longsor. Area yang sebelumnya merupakan hutan primer kini berubah menjadi bentang tanah terbuka. Kerusakan ini bukan hanya menghilangkan pohon, tetapi juga meruntuhkan seluruh sistem penyangga kehidupan satwa arboreal seperti orangutan.

“Jika lereng gunung runtuh dalam skala besar, orangutan tidak punya peluang untuk menyelamatkan diri,” kata seorang peneliti primata yang terlibat dalam kajian dampak bencana di kawasan tersebut.

Orangutan tapanuli dikenal memiliki perilaku bertahan saat hujan ekstrem dengan berlindung di kanopi hutan. Namun dalam peristiwa ini, hujan deras diikuti longsor masif yang menghancurkan habitat secara menyeluruh, meninggalkan satwa tanpa ruang aman.

Kematian orangutan ini terjadi di tengah laporan kerusakan luas ekosistem Sumatra akibat banjir dan longsor, yang juga menewaskan gajah Sumatra di Aceh. Para konservasionis menilai rangkaian peristiwa ini menunjukkan keterkaitan erat antara bencana alam dan rusaknya bentang alam akibat tekanan manusia.

Selain korban jiwa—yang jumlahnya telah menembus ratusan—bencana ini juga menghancurkan pusat-pusat penelitian satwa liar. Beberapa fasilitas riset orangutan dilaporkan rusak berat, menambah panjang daftar kerugian ekologis yang sulit dipulihkan dalam waktu singkat.

Bagi para ahli, kematian satu orangutan tapanuli bukan sekadar kehilangan individu, melainkan ancaman langsung terhadap kelangsungan spesies. Dengan populasi yang sangat kecil dan habitat yang semakin terfragmentasi, setiap bencana besar berpotensi mendorong spesies ini semakin dekat ke ambang kepunahan.

“Ini peringatan keras,” ujar seorang pegiat konservasi. “Jika hutan pegunungan Batang Toru terus kehilangan daya lindungnya, orangutan tapanuli bisa hilang sebelum benar-benar kita pahami.” (Redaksi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *