Bonarinews.com, Banjir besar melanda Bali. Ratusan rumah terendam, ribuan warga mengungsi, korban jiwa jatuh. Presiden dan Wakil Presiden hadir meninjau lokasi terdampak, memberi bantuan, dan menyampaikan duka cita. Kehadiran itu penting secara simbolis, tapi mari jujur: kunjungan pemimpin tak akan banyak berarti bila akar masalah banjir tak pernah disentuh.
Bali bukan pertama kali diterjang banjir. Hampir setiap tahun bencana serupa berulang, seolah menjadi siklus yang tak terputus. Pertanyaannya: mengapa tak pernah ada langkah serius untuk menghentikan lingkaran ini? Jawabannya ada pada dua kata kunci: tata ruang dan keserakahan.
Alih fungsi lahan resapan menjadi hotel, vila, dan properti wisata terus terjadi tanpa kendali. Sawah dan hutan yang dulu menjadi penahan air kini hilang diganti beton. Sungai-sungai menyempit karena sedimentasi dan sampah. Sistem drainase yang ada tidak pernah diperkuat seiring ledakan pembangunan. Ketika hujan ekstrem datang—yang makin sering akibat perubahan iklim—Bali tidak siap menampungnya.
Dalam situasi seperti ini, bantuan logistik, tenda darurat, bahkan kunjungan pejabat tinggi hanyalah respons jangka pendek. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk membenahi akar persoalan.
Saat ini Bali butuh:
- Audit tata ruang yang serius, bukan sekadar formalitas.
- Moratorium izin bangunan baru di kawasan rawan banjir.
- Normalisasi sungai dan drainase yang konsisten, bukan proyek tambal sulam.
- Sistem peringatan dini yang melibatkan warga, agar kesiapsiagaan lebih kuat.
Bali bukan sekadar destinasi wisata dunia, melainkan rumah bagi jutaan rakyat. Sayangnya, keselamatan warga sering kalah oleh kepentingan investasi. Ketika pejabat hanya datang memberi janji, rakyat Bali tetap menjadi korban yang menanggung risiko.
Kita perlu mengatakan dengan tegas: banjir Bali bukan sekadar bencana alam, melainkan bencana tata kelola. Selama tata ruang dibiarkan amburadul, selama keserakahan menyingkirkan akal sehat, banjir akan selalu kembali. Dan setiap tahun, rakyat akan kembali menanti kunjungan pejabat dengan perasaan getir.
Kunjungan Presiden dan Wakil Presiden hanya akan bermakna jika diikuti dengan kebijakan nyata. Jika tidak, itu hanyalah simbol tanpa substansi. Bali berhak mendapatkan perlindungan yang lebih dari sekadar perhatian sesaat. (Redaksi)