Banjir Aceh Renggut Nyawa Gajah Sumatera, Alih Fungsi Lahan Dinilai Akar Masalah

Bagikan Artikel

ACEH, bonarinews.com — Bencana banjir dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera tidak hanya menelan korban manusia. Satwa liar pun ikut menanggung dampaknya. Di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, seekor gajah Sumatera ditemukan mati setelah terjebak banjir bandang. Tubuh satwa dilindungi itu tertimbun lumpur hitam dan tumpukan kayu yang hanyut dari kawasan hulu.

Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, Raden Wisnu Nurcahyo, menilai kematian gajah tersebut mencerminkan krisis yang lebih dalam: rusaknya habitat satwa akibat perubahan bentang alam oleh aktivitas manusia. Menurut dia, bencana ekologis di Sumatera kini tidak bisa lagi dipisahkan dari masifnya alih fungsi lahan.

“Ketika habitat hutan hilang, bukan hanya gajah yang kehilangan ruang hidup. Seluruh ekosistem ikut runtuh,” ujar Wisnu, Selasa, 2 Desember 2025.

Ia menjelaskan, kawasan hutan yang selama ini menjadi ruang jelajah, tempat makan, berkembang biak, dan bersosialisasi bagi gajah Sumatera terus terfragmentasi. Perkebunan kelapa sawit, pertambangan, pembukaan jalan, permukiman, dan ladang telah memutus jalur alami satwa. Akibatnya, gajah terdorong keluar dari habitatnya dan masuk ke wilayah pemukiman manusia—sebuah kondisi yang rawan konflik dan berujung petaka.

Gajah, kata Wisnu, adalah satwa dengan kebutuhan ruang yang luas. Mereka hidup berkelompok, memiliki jalur migrasi, serta lokasi tetap untuk mandi dan mencari makan. Ketika ruang itu menyempit, daya dukung alam runtuh. Dalam kondisi ekstrem seperti banjir bandang, gajah menjadi kelompok paling rentan.

“Bencana ini bukan peristiwa alam semata. Ini akumulasi dari keputusan manusia yang terus menekan alam,” katanya.

Wisnu menegaskan, konservasi tidak cukup dilakukan dengan menyelamatkan individu satwa setelah bencana terjadi. Upaya paling mendasar adalah melindungi habitat alaminya. Ia menyoroti Aceh sebagai wilayah yang seharusnya memiliki regulasi ketat terhadap pembukaan lahan, terutama untuk perkebunan sawit yang menurutnya menjadi penyebab utama degradasi hutan.

“Jika pembukaan lahan terus dibiarkan, kita bukan hanya kehilangan gajah, tetapi juga membuka pintu bagi bencana berikutnya,” ujarnya.

Ia mengingatkan bahwa manusia tidak hidup sendirian di pulau Sumatera. Flora dan fauna adalah bagian dari sistem kehidupan yang saling terhubung. Ketika keseimbangan itu diabaikan, bencana akan terus berulang—dengan skala dan dampak yang kian besar.

“Kita harus berbagi ruang dengan satwa liar. Jika tidak, alam akan terus memberi peringatan, dan korbannya bukan hanya hewan, tetapi juga manusia,” kata Wisnu. (Redaksi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *