Oleh: Alrend Charis Sihombing
Indonesia dulu dikenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi moral, sopan santun, dan semangat gotong royong. Namun kini, nilai-nilai itu perlahan memudar di tengah derasnya perubahan zaman.
Fenomena krisis moral bukan lagi sekadar isu, tetapi kenyataan yang terasa di kehidupan sehari-hari. Korupsi masih marak, kekerasan di sekolah meningkat, ujaran kebencian di media sosial meluas, dan rasa empati antarwarga seolah menghilang.
Kejujuran kini dianggap kelemahan, dan rasa malu seperti barang antik yang tak lagi laku. Bangsa yang dahulu dibanggakan karena budayanya, kini menghadapi ancaman dari dalam diri: runtuhnya moral warganya sendiri.
Krisis ini tidak muncul secara tiba-tiba. Ia tumbuh dari kebiasaan kecil yang dibiarkan—dari cara kita membenarkan yang salah, hingga sikap permisif terhadap pelanggaran etika.
Ungkapan seperti “yang penting viral” atau “asal cuan” mencerminkan orientasi baru masyarakat yang lebih mementingkan hasil daripada proses. Ketika kebenaran bisa dinegosiasikan dan ketulusan dikorbankan demi keuntungan pribadi, saat itulah bangsa ini sedang berjalan di tepi jurang moral yang berbahaya.
Pendidikan seharusnya menjadi benteng pertama dalam membentuk karakter bangsa. Namun faktanya, sistem pendidikan kita masih terjebak pada angka dan nilai ujian. Sekolah sering menilai keberhasilan dari prestasi akademik, bukan dari bagaimana anak didik berperilaku dan menghargai orang lain.
Padahal Ki Hajar Dewantara sudah mengingatkan bahwa pendidikan sejati adalah menuntun kekuatan kodrat anak agar mereka tumbuh sebagai manusia yang bahagia dan berguna bagi masyarakat. Sayangnya, pesan luhur itu sering terlupakan. Banyak anak kini pandai berpikir, tapi miskin empati.
Lingkungan sosial dan media pun memperparah keadaan. Media sosial kini menjadi ruang di mana kebencian dan fitnah menyebar lebih cepat daripada kebenaran. Berdasarkan laporan We Are Social tahun 2024, orang Indonesia menghabiskan rata-rata lebih dari tiga jam setiap hari di media sosial.
Sayangnya, waktu itu lebih sering digunakan untuk adu komentar dan menyebar amarah, bukan membangun semangat kebersamaan. Banyak figur publik malah memperlihatkan perilaku tidak pantas di ruang terbuka, dan masyarakat menirunya tanpa sadar. Ketika tontonan tidak lagi mendidik, maka moral pun kehilangan arah.
Krisis moral juga terlihat di level kepemimpinan. Kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik menunjukkan bahwa pendidikan tinggi atau jabatan tinggi tidak selalu sejalan dengan moralitas. Saat pemimpin tidak lagi memberi teladan, rakyat kehilangan panutan.
Bung Hatta pernah berkata, kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari penjajahan, tetapi juga bebas dari kebodohan dan kebejatan moral. Kini, kita justru sering menyaksikan moralitas dikorbankan demi kekuasaan. Integritas menjadi langka, padahal di sanalah kepercayaan publik seharusnya tumbuh.
Untuk memperbaiki keadaan ini, langkah kecil namun nyata harus dimulai. Dunia pendidikan perlu menanamkan kembali pendidikan karakter bukan hanya lewat teori, tapi lewat contoh nyata dalam kehidupan sekolah. Pemerintah harus menegakkan hukum secara adil agar rakyat percaya bahwa keadilan masih hidup.
Media perlu berperan aktif dalam membangun kesadaran moral publik, bukan sekadar mengejar sensasi. Dan yang paling penting, setiap individu perlu berani bercermin—memperbaiki diri, menumbuhkan kembali rasa malu untuk berbuat salah, dan menjadikan kejujuran sebagai kebanggaan.
Krisis moral bangsa ini adalah cermin yang menegur kita semua. Kemajuan tidak cukup diukur dari gedung tinggi, jalan lebar, atau investasi besar, tetapi dari seberapa luhur nilai kemanusiaan yang kita jaga. Indonesia bisa saja menjadi negara kuat, tapi semua itu tak berarti jika kehilangan nurani.
Sudah saatnya kita meneguhkan kembali moral sebagai fondasi kehidupan berbangsa. Karena hanya dengan moral yang kokoh, Indonesia bisa tumbuh menjadi bangsa yang bukan hanya besar di nama, tapi juga bermartabat di hati dunia.
Penulis adalah Mahasiswa Ukrida, Jakarta Prodi Psikologi.