Bonarinews.com, Medan – Di tengah hiruk-pikuk kemajuan teknologi, ada cerita luar biasa dari sudut Jalan Guru Sinumba, Medan Helvetia. Di sekolah yang dipimpin Mardi Panjaitan ini, anak-anak berkebutuhan khusus belajar menembus batas lewat dunia digital. Bukan sekadar belajar mengetik atau menggambar di komputer, mereka kini berani menjadi content creator, desainer grafis, hingga pelaku usaha kecil lewat internet.
Semua berawal dari sebuah pertemuan sederhana. Mardi, Kepala SLB Negeri Pembina Tingkat Provinsi Sumatera Utara, bertemu tim Telkomsel dalam sebuah kegiatan bersama seluruh Kacabdis di SMAN 1 Medan. Dari obrolan ringan itu lahir ide besar: membawa program Internet Baik ke sekolah luar biasa. “Saya langsung terpikir, anak-anak kami juga berhak mengenal dunia digital dengan cara yang aman dan bermanfaat,” kenang Mardi.
Telkomsel kemudian hadir dengan serangkaian pelatihan yang menggugah semangat belajar. Ada empat kelas utama: pengenalan internet sehat, pelatihan konten kreatif, desain grafis, dan pemasaran digital. Anak-anak diajak mengenal dunia online tanpa rasa takut, sekaligus belajar memanfaatkannya untuk berkreasi.
“Untuk anak-anak Tuna Grahita diberikan pelatihan pengenalan internet baik sedangkan yang Tuna Rungu diberi pelatihan konten kreator, desain grafis dan pemasaran digital, agar bisa menghasilkan karya, bahkan menjual produk mereka secara digital,” tutur Mardi.
Hasilnya sungguh membanggakan. Dari layar komputer sederhana di ruang desain, lahirlah karya-karya unik buatan siswa disabilitas—kaus dengan desain hasil kreasi mereka sendiri. Beberapa siswa bahkan mulai aktif membuat konten sederhana, mengikuti pelatihan yang mereka terima. “Anak-anak jadi lebih percaya diri, lebih ekspresif. Mereka mulai melihat internet sebagai peluang, bukan ancaman,” ujar Mardi.
Namun dampaknya tidak berhenti di situ. Guru-guru pun ikut berubah. Mereka kini lebih aktif memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran, menjadikan internet sebagai jembatan komunikasi dan eksplorasi. Bahkan sekolah kini memiliki tim media sosial sendiri yang setiap hari mengunggah kegiatan anak-anak. “Untuk pembelajaran, guru-guru kami sudah terlatih menggunakan Canva untuk mendesain materi,” imbuhnya.
Aktivitas digital itu menarik perhatian banyak pihak, termasuk Kementerian Pendidikan yang kemudian mengundang sekolah ini ke Jakarta untuk pembuatan film dokumenter. “Dulu sekolah kami mungkin hanya dikenal di sekitar Medan. Sekarang, orang dari luar daerah tahu karena melihat postingan kami di medsos. Semua ini berawal dari semangat internet baik,” kata Mardi tersenyum.
Mardi berharap program seperti ini tidak berhenti hanya sekali. Ia ingin lebih banyak pelatihan dan berkelanjutan, lebih banyak perangkat, dan lebih banyak kesempatan bagi siswanya untuk belajar dunia digital. “Anak-anak kami istimewa. Mereka punya semangat luar biasa, tinggal diberi ruang dan kepercayaan,” ujarnya penuh harap.
Di balik keterbatasan, anak-anak SLB Negeri Pembina Sumut membuktikan bahwa mereka mampu menaklukkan dunia digital dengan semangat dan ketulusan. Dari tangan-tangan kecil mereka, lahir karya besar yang menunjukkan: teknologi bukan hanya untuk mereka yang sempurna, tapi untuk siapa pun yang mau belajar dan berani bermimpi. (Redaksi)