AI Nasional: Ambisi Besar, Digital Dasar Belum Beres

Bagikan Artikel

Oleh Finley Eiwan Franklin Zaluchu

BELAKANGAN ini perang AI terjadi dalam skala global karena begitu banyak negara yang ingin menyaingi kesuksesan ChatGPT dibawah naungan OpenAI. Salah satu negara tersebut tentu sudah bisa ditebak, China.

Memang ada beberapa masalah yang dihadapi China sebelum akhirnya menciptakan model AI bernama DeepSeek.

Diantaranya adalah keterbatasan akses pada model-model AI seperti ChatGPT karena adanya perang dagang teknologi AS dan China, dataset untuk melatih model yang sulit didapatkan, bahkan hardware yang sangat minim untuk AI bisa berjalan karena adanya pembatasan ekspor GPU seperti NVIDIA untuk dikirimkan ke China.

Tapi pada akhirnya, mode DeepSeek nyatanya berhasil diciptakan oleh China, melampaui keterbatasan yang dihadapinya, bahkan kemampuan DeepSeek dianggap dapat bersaing melawan ChatGPT.

Pemerintah Indonesia sendiri berencana untuk Indonesia membangun model AI nya sendiri. Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan pada Antara News bahwa ia ingin Indonesia memiliki model AI yang setara dengan ChatGPT atau DeepSeek.

Apakah ambisi ini memungkinkan?

Mari kita bahas terlebih dahulu mengapa membuat AI yang setara dengan ChatGPT dan DeepSeek bukan perkara yang mudah.

Pertama, model AI seperti ChatGPT dan DeepSeek dinamakan sebagai model LLM (Large Language Model) dengan basis NLP (Natural Language Processing) dimana AI ini akan dilatih dengan jutaan data untuk memahami dan menghasilkan teks sesuai dengan yang mampu dipahami oleh manusia.

Untuk membuat model LLM, Indonesia harus memiliki dataset yang sangat besar. Contohnya saja, GPT-3 saja memiliki dataset sebesar 175 miliar parameter.

Sementara itu, saat ini Indonesia dianggap masih belum memiliki dataset yang berkualitas.

Kedua, dari segi hardware, Indonesia masih belum mumpuni. Kita membahas bagaimana AI membutuhkan hardware yang bagus untuk mampu menciptakan AI yang tepat, dan efisien sesuai dengan fungsi seharusnya.

Contohnya, perlunya GPU kelas A100/H100 sebagai penunjang AI dapat “hidup” dimana harganya bisa mencapai 200 juta rupiah.

AI perlu banyak GPU, bukan hanya 1 saja, tetapi ribuan. Model seperti ChatGPT membutuhkan lebih dari 10.000 GPU untuk membantu AI melakukan training selama kurang lebih 1 bulan.

Bayangkan saja seberapa mahal hanya untuk segi hardware.

Ketiga, AI butuh platform cloud supaya bisa diakses real-time oleh pengguna kapan saja dan dimana saja yang mengakibatkan cloud juga harus hidup selama 24 jam.

Menyewa atau melakukan hosting cloud harus mengeluarkan biaya yang mahal, bisa ribuan sampai jutaan dolar per bulan. Biaya yang fantastis yang harus dikeluarkan oleh negara hanya untuk AI saja.

Keempat, infrastruktur digital yang belum merata. Ya, tidak dapat dipungkiri bahwa akses internet masih belum merata di Indonesia, padahal infrastruktur digital merupakan hal dasar dan penting sebelum menciptakan AI.

APJII menyatakan, tingkat penetrasi internet di Indonesia sudah mencapai angkat sekitar 79% atau sekitar 200 juta orang pengguna inernet. Namun masih ada masalah dengan daerah 3T (Teringgal, Terdepat, Terluar) dimana tingkat penetrasi internetnya hanya sekitar 67% saja.

Belum lagi kerugian negara sebesar 8 triliun rupiah yang diakibatkan oleh korupsi menara BTS 4G yang mengakibatkan pemerataan internet ke daerah terpencil menjadi semakin sulit. Ini membuktikan bahwa lemahnya tata kelola proyek teknologi di Indonesia.

Meski dengan dana sebesar itu seharusnya seluruh Indonesia sudah mampu mengakses internet dengan mudah.

Kelima, Indonesia masih sering mubazir dalam upaya menjadikan Indonesia lebih maju. Contohnya saja, sistem Coretax untuk memudahkan sistem perpajakan Indonesia, dimana biaya pembuatannya sangat masif.

Tetapi kemudian apakah sistemnya mampu berjalan dengan baik? Nyatanya tidak. Bahkan sistem penting dalam website saja oleh Coretax masih belum dapat terpenuhi, mulai dari login yang sulit, dan akses ke halaman website yang sering error.

Bagaimana pula nasib model LLM jika akhirnya dibangun? Sepertinya akan tersandera mentalitas kita yang hanya asal jadi, lalu mubazir.

Keterbelakangan kita dalam hal teknologi seharusnya membuka mata kita. Sebagai masyarakat awam, sudah seharusnya kita melek teknologi.

Begitu banyak hal yang bisa dilakukan jika kita melek teknologi, seperti mencari pekerjaan dari luar negeri, freelance, remote working, bahkan beasiswa dari luar negeri.

Belajar juga menjadi lebih mudah jika kita melek teknologi. Sekarang ini, apa yang AI tidak bisa jawab dalam pelajaran kita di sekolah atau di kampus? Dapat dikatakan, jika memiliki akses pada AI, kemampuan kita pun meningkat.

Pemerintah juga seharusnya melek teknologi. Banyak dari jajaran pemerintah yang terlalu meremehkan teknologi dengan berbagai gurauan seperti “untuk apa internet cepat hanya untuk Youtube saja?” menjadikan bukti bahwa pemerintah masih belum melek teknologi.

Membangun BTS yang merata di seluruh Indonesia merupakan langkah signifikan untuk memperbaiki kondisi Indonesia yang masih tertinggal.

Selain itu, pemerintah juga harus mulai membiayai SDM Indonesia untuk belajar AI ke luar negeri, belajar bagaimana AI bekerja agar kita mampu mempersiapkan SDM untuk membangun AI.

Indonesia tampaknya masih sulit untuk menciptakan AI sendiri karena beragam ketertinggalan kita dalam hal teknologi dasar. Sekali lagi, Indonesia hanya belum layak, tetapi bukannya tidak mampu.

Oleh karena itu, pemerintah harus segera berbenah bagaimana caranya agar semua anak di Indonesia melek teknologi sebagai langkah awal untuk membangun generasi canggih di kemudian hari.

Mempersiapkan SDM berkualitas bukan hanya sekedar memberikan Makanan Bergizi Gratis (MBG) tetapi memberikan internet gratis dan berkualitas juga adalah asupan penting kepada masyarakat.

Sebagai pengingat sebelum bermimpi, LLM tidak akan terwujud jika Coretax seharga triliunan belum berjalan sebagaimana mestinya.

Dan, jangan lupakan korupsi BTS 4G yang menyuarakan kegagalan tata kelola proyek digital nasional.

*) Penulis adalah mahasiswa Prodi Computer Science Universitas Bina Nusantara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *