Oleh: Axel Daniel Prilitus
Kemajuan kecerdasan buatan atau artificial Inteligensi (AI) mengubah cara kita mengakses informasi, membentuk opini, hingga menentukan pilihan politik. Di Indonesia, algoritma media sosial seperti TikTok, Instagram, dan X (Twitter) kini memengaruhi wacana publik secara signifikan.
Data Digital 2025 Indonesia menunjukkan ada sekitar 143 juta pengguna aktif media sosial—setengah dari populasi. Hampir 40% dari mereka menjadikan media sosial sebagai sumber berita utama. Pertanyaannya: apakah opini politik kita benar-benar berasal dari kesadaran sendiri, atau sudah diarahkan oleh algoritma yang bekerja di balik layar?
AI bekerja sederhana: menampilkan konten yang paling mungkin membuat kita tetap berinteraksi. Tapi di balik itu, muncul “filter bubble” dan “echo chamber”, di mana kita hanya terpapar informasi yang memperkuat pandangan sendiri. Hasilnya, ruang dialog demokratis menyempit, dan bias politik semakin tajam. Penelitian MDPI (2023) menunjukkan 68% interaksi di Twitter berupa retweet, yang mempercepat penyebaran opini tertentu dan membentuk klaster informasi tertutup.
Ada tiga risiko utama AI bagi demokrasi:
Pertama, kebebasan berpikir terancam.
Ketika algoritma menentukan apa yang muncul di beranda kita, narasi mana yang paling diterima masyarakat pun ikut dikontrol. Kita merasa bebas memilih informasi, padahal sebenarnya diarahkan oleh sistem yang memprioritaskan interaksi, bukan kebenaran. Tanpa kemampuan kritis, warga mudah terpengaruh dan kehilangan kendali atas pandangan politiknya sendiri.
Kedua, manipulasi politik berskala besar bisa terjadi.
AI memungkinkan praktik seperti deepfake atau micro-targeting, di mana data pribadi digunakan untuk kampanye politik. Studi Australian Strategic Policy Institute (2024) menunjukkan penggunaan AI di politik Asia Tenggara meningkat, tapi regulasi masih tertinggal. Kepercayaan masyarakat tinggi—74% warga percaya pemerintah bisa mengatur AI—tetapi tanpa pengawasan yang kuat, ruang manipulasi tetap terbuka.
Ketiga, ketimpangan akses informasi semakin melebar.
Mereka dengan sumber daya teknologi tinggi dapat mengatur narasi publik sesuai kepentingan, sementara kelompok kecil menjadi penerima pasif. Survei SSRN (2024) menunjukkan 80% masyarakat menilai AI lebih banyak manfaatnya daripada risikonya, menandakan sikap pasif terhadap pengaruh teknologi. Jika dibiarkan, suara rakyat bisa tergantikan oleh “suara mesin”.
Solusinya? Kolaborasi.
Pemerintah harus mengatur penggunaan AI, termasuk transparansi algoritma dan perlindungan data. Institusi pendidikan perlu menanamkan literasi digital dan etika teknologi agar generasi muda bisa berpikir kritis. Masyarakat harus membiasakan diri memverifikasi informasi, memeriksa sumber, konteks, dan motif di balik berita yang beredar.
Demokrasi tidak boleh diserahkan pada algoritma. AI hanyalah alat; manusialah yang seharusnya memegang kendali arah peradaban. Warga negara yang cerdas digital, kritis, dan etis adalah benteng terakhir dari demokrasi yang sehat. Dalam era informasi mudah dimanipulasi, kesadaran digital bukan sekadar pilihan—itu tanggung jawab moral untuk menjaga masa depan demokrasi Indonesia.
Penulis adalah Mahasiswa Ukrida, Program Studi Psikologi