Bonarinews.com – Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) telah menjatuhkan putusan atas lima anggota DPR yang sempat dinonaktifkan pasca demo besar Agustus lalu. Ahmad Sahroni dijatuhi sanksi nonaktif enam bulan, Eko Patrio empat bulan, dan Nafa Urbach tiga bulan. Sementara Adies Kadir dan Uya Kuya dinyatakan tidak melanggar.
Secara formal, putusan ini tampak sebagai langkah disiplin. Namun di mata publik, sanksi tersebut justru terasa janggal—bahkan ironis. Sebab sebagian dari mereka sudah lebih dulu menyatakan pengunduran diri secara terbuka. Jika kesadaran pribadi untuk mundur sudah muncul, mengapa DPR justru “menahan” mereka dengan sanksi administratif, bukan memproses resign mereka sebagaimana mestinya?
Keputusan ini sulit dipahami secara logika publik. DPR adalah lembaga yang seharusnya mewakili suara rakyat, bukan sekadar melindungi anggotanya dari badai kritik. Ketika masyarakat menuntut akuntabilitas penuh, pemberian sanksi ringan beberapa bulan justru terasa seperti upaya “mengakali kesadaran publik”—menampilkan ketegasan semu tanpa menyentuh akar masalah.
Lebih dari itu, langkah MKD memperlihatkan jarak yang semakin lebar antara parlemen dan rakyatnya. Etika politik diukur bukan dari panjangnya surat keputusan, tapi dari kesediaan lembaga untuk menegakkan standar moral yang sejalan dengan aspirasi publik. Sanksi yang tidak sepadan dengan pelanggaran hanya mempertegas kesan bahwa etika di DPR telah direduksi menjadi urusan administratif belaka.
Kasus ini semestinya menjadi momentum refleksi mendalam. Ketika kredibilitas lembaga legislatif berada di titik nadir, satu-satunya jalan pemulihan adalah transparansi penuh—bukan sekadar sanksi simbolik. Rakyat tidak butuh drama disiplin internal; mereka menuntut kejujuran, keberanian moral, dan tanggung jawab publik yang nyata.
Jika DPR benar-benar ingin mengembalikan kepercayaan, maka ia harus mulai bertanya pada dirinya sendiri: masihkah setiap keputusan diambil demi rakyat, atau demi melindungi dirinya sendiri? Karena bila etika terus diperjualbelikan, maka kehormatan parlemen tak lagi bisa ditegakkan dengan sidang MKD—melainkan hanya dengan penilaian rakyat di bilik suara. (*)