Oleh: Winda Gabriella *)
Kasus korupsi impor gula yang menjerat Thomas Trikasih Lembong, atau yang akrab dikenal sebagai Tom Lembong, menjadi sorotan publik sepanjang tahun 2025.
Mantan Menteri Perdagangan periode 2015–2016 itu divonis 4,5 tahun penjara serta denda Rp750 juta atas dugaan penyalahgunaan kewenangan dalam pemberian izin impor gula kristal mentah (GKM) kepada perusahaan swasta.
Hakim menyatakan perbuatannya menimbulkan kerugian negara sekitar Rp194 miliar. Walau tidak terbukti menikmati keuntungan pribadi, publik kembali dikejutkan ketika Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi pada 1 Agustus 2025, membebaskannya dari hukuman penjara.
Keputusan ini memicu perdebatan luas tentang keadilan hukum, integritas lembaga negara, dan batas kewenangan politik dalam sistem demokrasi Indonesia.
Pertama, dari perspektif hukum, pemberian abolisi terhadap Tom Lembong menimbulkan kekhawatiran terhadap kemandirian sistem peradilan di Indonesia. Abolisi merupakan kewenangan khusus presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, yang menyebutkan, presiden dapat memberikan amnesti dan abolisi dengan mempertimbangkan saran dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Artinya, meskipun hak tersebut sah secara konstitusional, penggunaannya harus dilakukan secara selektif dan berlandaskan prinsip keadilan serta kepentingan umum.
Dalam kasus ini, Tom Lembong telah terbukti bersalah dalam konteks tanggung jawab administratif yang merugikan keuangan negara. Namun, keputusan untuk menghentikan proses hukum melalui abolisi tanpa penjelasan publik yang transparan menimbulkan kesan bahwa proses peradilan dapat dipengaruhi oleh kekuasaan politik.
Jika praktik seperti ini berlanjut, kepercayaan masyarakat terhadap supremasi hukum akan terus menurun.
Kedua, dari perspektif politik, abolisi ini menunjukkan adanya pola konsolidasi kekuasaan antara cabang eksekutif dan legislatif. Pemberian pengampunan hukum kepada tokoh yang memiliki latar belakang ekonomi kuat serta kedekatan dengan lingkaran elite pemerintahan menimbulkan dugaan adanya perlindungan politik terhadap kelompok tertentu.
Langkah tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan nilai kemanusiaan, melainkan dapat dibaca sebagai strategi menjaga stabilitas politik dan citra pemerintahan.
Dalam konteks demokrasi konstitusional, praktik semacam ini berpotensi mengaburkan batas antara kepentingan publik dan kepentingan kekuasaan, sekaligus melemahkan prinsip akuntabilitas yang seharusnya dijaga oleh lembaga negara.
Ketiga, dari sudut pandang etika publik, kasus ini menimbulkan dilema moral serius antara niat baik kebijakan dan tanggung jawab hukum. Hakim memang menyatakan, Tom Lembong tidak memiliki niat jahat (mens rea) dalam kebijakan impor gula, namun keputusan yang menimbulkan kerugian negara tetap menuntut adanya pertanggungjawaban.
Ketidakhadiran niat jahat tidak dapat dijadikan alasan untuk menghapus kewajiban moral dan hukum seorang pejabat publik.
Justru di sinilah letak kekeliruannya: ketika kekuasaan digunakan untuk membebaskan pejabat dari tanggung jawab atas keputusan yang merugikan negara,nilai keadilan dan integritas birokrasi ikut dipertaruhkan.
Abolisi terhadap Tom Lembong menciptakan kesan, posisi dan reputasi dapat menjadi pelindung dari konsekuensi hukum. Pesan semacam ini sangat berbahaya bagi sistem pemerintahan yang berlandaskan keadilan, karena mengaburkan batas antara kesalahan administratif dan impunitas politik.
Di tengah masyarakat yang terus berjuang memenuhi kewajiban pajak dan mempercayakan pengelolaan keuangan kepada negara, keputusan semacam ini terasa menyalahi rasa keadilan kolektif.
Pejabat publik semestinya memahami, setiap keputusan administratif membawa risiko dan tanggung jawab hukum yang tidak dapat dihapuskan begitu saja oleh intervensi politik. Ketika tanggung jawab jabatan diabaikan, moralitas birokrasi pun kehilangan maknanya, dan hukum tidak lagi dipandang sebagai pelindung rakyat, melainkan alat untuk melindungi kekuasaan.
Selain itu, muncul pula persoalan ketidakkonsistenan antar lembaga negara. Pengadilan telah menjatuhkan putusan yang sah, namun presiden dapat membatalkannya melalui abolisi.
Ketidaksinkronan ini menimbulkan pertanyaan serius: mengapa keputusan hukum bisa berubah hanya karena campur tangan kekuasaan? Jika lembaga peradilan dapat diintervensi, maka independensinya patut dipertanyakan.
Fenomena ini menggambarkan bagaimana hukum bisa dijadikan alat politisasi oleh pihak yang memiliki kepentingan. Akibatnya, publik kehilangan keyakinan bahwa semua warga negara benar-benar setara di hadapan hukum.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, pemerintah perlu memperjelas mekanisme dan batasan pemberian abolisi agar tidak disalahgunakan demi kepentingan politik jangka pendek. Pengaturan yang kabur dapat menimbulkan preseden buruk, di mana hukum bergantung pada kehendak politik, bukan asas keadilan.
Karena itu, penguatan sistem dan aturan pelaksanaan abolisi menjadi penting untuk menjaga integritas pemerintahan dan kepercayaan publik terhadap negara hukum.
Hak presiden dalam memberikan abolisi tidak boleh berubah menjadi alat impunitas, yaitu sarana untuk melindungi pejabat publik dari tanggung jawab hukum.
Hak tersebut diberikan untuk menjamin kemanusiaan dan keseimbangan keadilan, bukan untuk menghapuskan kesalahan yang terbukti merugikan negara.
Oleh sebab itu, DPR dan lembaga hukum harus memperkuat fungsi pengawasan serta memastikan setiap keputusan abolisi dilakukan secara transparan, rasional, dan berorientasi pada kepentingan publik.
Kesimpulannya, kasus abolisi Tom Lembong bukan sekadar persoalan hukum individual, melainkan refleksi dari tantangan besar dalam menjaga integritas hukum dan keseimbangan kekuasaan di Indonesia.
Bila hukum dapat dikesampingkan oleh keputusan politik, maka fondasi demokrasi akan melemah dan keadilan menjadi relatif. Indonesia harus menegaskan kembali bahwa kekuasaan politik tidak boleh berada di atas hukum.
Transparansi, akuntabilitas, dan keadilan harus menjadi dasar setiap kebijakan, agar demokrasi benar-benar mencerminkan tanggung jawab dan kesetaraan di hadapan hukum.
*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta, Program Studi Psikologi. Tugas Mata Kuliah Kewarganegaraan