Medan, Bonarinews.com – Sebuah keputusan humanis kembali lahir dari institusi Kejaksaan. Kajati Sumatera Utara Dr. Harli Siregar, SH., M.Hum memutuskan menghentikan penuntutan dua perkara tindak pidana pencurian dari Kejaksaan Negeri Asahan melalui mekanisme restorative justice.
Keputusan ini diambil setelah ekspose bersama Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) yang diwakili Sekretaris Jampidum, Dr. Undang Mugopal, SH., MH, dengan didampingi Wakajati Sumut Abdullah Noer Denny, SH., MH serta jajaran bidang pidana umum.
Kasus yang menjerat Rizky Inanda bermula pada 6 September 2025 di Dusun II, Kecamatan Sei Dadap, Kabupaten Asahan. Terdesak kebutuhan biaya pengobatan anaknya yang harus segera mendapat tindakan medis, Rizky nekat mencuri sebuah sepeda motor milik warga bernama Sahrul. Motor itu kemudian dijual kepada Suhendri, yang kini turut menjadi tersangka karena membeli barang hasil kejahatan.
Keduanya sempat ditetapkan sebagai tersangka dengan sangkaan Pasal 362 KUHP untuk Rizky dan Pasal 480 ayat (1) KUHP untuk Suhendri. Namun, proses hukum berbalik arah setelah dilakukan penelaahan mendalam terhadap motif dan kondisi sosial kedua tersangka.
Melalui pesan resmi kepada media, Plh Kasi Penkum Indra Ahmadi Hasibuan menyampaikan, penerapan restorative justice dilakukan setelah mempertimbangkan sejumlah alasan krusial.
Pertama, Rizky belum pernah terlibat tindak pidana sebelumnya dan tindakan pencurian murni dilakukan karena terdesak kebutuhan mendesak untuk biaya pengobatan anaknya.
Kedua, baik Rizky maupun Suhendri sudah meminta maaf secara langsung kepada korban. Sahrul, sebagai pemilik sepeda motor, dengan jiwa besar menerima permintaan maaf tersebut.
Dukungan penyelesaian damai juga datang dari masyarakat. Kepala Dusun II Desa Sei Kamah bersama tokoh warga mengajukan permohonan resmi kepada kejaksaan agar perkara diselesaikan tanpa melanjutkan proses pemidanaan, demi menjaga keharmonisan kampung.
“Pemenjaraan bukan selalu solusi terbaik. Yang kita dorong adalah terciptanya harmonisasi serta keberlangsungan hubungan sosial yang baik di tengah masyarakat, dengan tetap berpegang pada SOP dan aturan hukum penerapan RJ,” kata Indra Hasibuan.
Kini, setelah proses restorative justice tuntas, Rizky, Suhendri, dan korban telah kembali hidup berdampingan. Mereka bahkan sepakat memulihkan hubungan sebagai bagian dari satu keluarga besar di kampung yang sama.
Kasus ini menjadi contoh bagaimana hukum bukan semata soal pembalasan, tetapi juga ruang pemulihan – terutama saat kemanusiaan menjadi pertimbangan utama. (Redaksi)