Pengesahan KUHAP baru oleh DPR kembali membuka perdebatan lama: apakah negara sedang memperbaiki sistem peradilan pidana, atau justru memperluas kekuasaan aparat dengan mengorbankan hak-hak dasar warga?
Di tengah rendahnya kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum, keputusan ini patut dikritisi dengan kepala dingin—dan kewaspadaan yang tinggi.
Sejak awal, revisi KUHAP dijanjikan sebagai tonggak reformasi hukum. Pemerintah dan DPR menyebut aturan ini diperlukan untuk memperbarui regulasi yang dianggap kedaluwarsa serta meningkatkan efisiensi proses pidana.
Namun isi sejumlah pasal justru menimbulkan pertanyaan mendasar: reformasi untuk siapa? Apakah untuk memperkuat keadilan, atau sekadar mempermudah penyidik?
Kekhawatiran publik bukan tanpa dasar. Beberapa ketentuan dalam KUHAP baru dinilai memberikan ruang lebih besar kepada aparat untuk menahan, memperpanjang masa pembatasan kebebasan warga, atau mempersempit mekanisme kontrol terhadap proses penyidikan.
Dalam negara hukum, kekuasaan yang besar tanpa pengawasan hanya menyisakan satu kata: rawan disalahgunakan.
Lebih jauh, pengesahan yang berlangsung cepat juga menimbulkan kecurigaan bahwa aspirasi publik kembali diabaikan. Padahal, perbaikan sistem peradilan pidana seharusnya berangkat dari prinsip due process of law—bukan hanya efisiensi birokrasi.
Di negara dengan tingkat salah tangkap, penyiksaan, dan ketimpangan akses bantuan hukum yang masih tinggi, setiap perubahan regulasi seharusnya memperkuat perlindungan warga, bukan melemahkannya.
DPR, yang seharusnya menjadi representasi suara rakyat, justru gagal menjelaskan secara terang apa urgensi dan manfaat langsung dari KUHAP baru ini bagi masyarakat luas. Publik pantas mempertanyakan proses legislasi yang terasa jauh dari semangat partisipasi.
Hukum pidana adalah alat paling keras yang dimiliki negara. Karena itu, setiap perluasan kewenangan harus diuji dengan standar paling ketat: apakah kebebasan warga tetap terjamin?
Tanpa jawaban yang meyakinkan, revisi KUHAP ini berpotensi menjadi ancaman baru bagi mereka yang justru paling rentan menghadapi proses hukum. Reformasi hukum semestinya membuat warga merasa lebih aman, bukan lebih was-was.
Jika KUHAP baru benar-benar ingin disebut reformasi, pekerjaan pemerintah dan DPR belum selesai. Mereka harus memastikan aturan ini diawasi ketat, diterjemahkan dengan benar, dan tidak menjadi alat baru bagi praktik sewenang-wenang.
Sebab pada akhirnya, ukuran negara demokratis bukan seberapa cepat ia membuat undang-undang, tetapi seberapa baik ia melindungi hak warganya. (Redaksi)