Kelas Hening yang Berubah Menjadi Berisik: Seni sebagai Jembatan bagi Anak Berkebutuhan Khusus

Bagikan Artikel

Oleh: Ida Rama Sepxena Lubis

Mengajar di kelas yang memadukan anak berkebutuhan khusus dan anak normal tentu bukanlah pengalaman biasa. Awalnya, saya bingung menghadapi perbedaan kemampuan dan kebutuhan mereka. Suasana kelas yang hening, membuat saya bertanya-tanya: bagaimana cara menciptakan pembelajaran yang bisa membuat setiap anak merasa nyaman?

Sebagai guru, saya menyadari bahwa tugas saya bukan semata-mata mengajarkan teknik menari atau menjelaskan teori. Tetapi saya harus bisa menemukan cara yang tepat untuk menggali potensi masing-masing anak didik saya, terutama di bidang seni. Seni bukan sekadar keterampilan berlenggak-lenggok pinggang. Seni justru menjadi media untuk mengekspresikan diri, membangun rasa percaya diri, dan menumbuhkan rasa percaya terhadap kemampuan diri sendiri.

Perjalanan mengenalkan pelajaran seni ini masih panjang dan penuh tantangan. Banyak siswa yang belum pernah mengenal seni, sementara fasilitas sekolah terbatas. Akan tetapi, bagi saya, setiap tantangan justru menjadi peluang untuk berinovasi. Saya menjadi belajar untuk menyesuaikan metode pengajaran, belajar untuk menciptakan latihan yang sederhana tapi bermakna, dan belajar untuk memastikan setiap anak merasakan keberhasilan, sekecil apapun itu.

Yang paling membahagiakan bagi saya sebagai guru adalah, ketika melihat perubahan anak secara perlahan tapi nyata. Anak-anak yang dulunya takut mengekspresikan diri kini mulai menunjukkan kreativitasnya. Ada yang berhasil melukis, ada yang terampil menari, dan ada juga yang dengan penuh percaya diri berhasil menampilkan pertunjukan sederhana di depan teman-teman. Setiap senyum, ganjaran tepuk tangan, atau rasa bangga yang mereka tunjukkan menjadi bukti bahwa setiap anak memiliki potensi yang bisa digali.

Namun, kebahagiaan terbesar bukanlah tentang keberhasilan meraih prestasi. Lebih dari itu, bisa menyaksikan secara langsung anak-anak belajar percaya diri, berani mencoba, dan memahami bahwa kegagalan bukanlah akhir dari segalanya, itulah kebahagiaan terbesar. Seni mengajarkan mereka bahwa setiap usaha amatlah berharga, dan bahwa mereka memiliki hal untuk berbicara dan suara mereka patut didengar, meski dunia kadang terasa asing bagi mereka.

Harapan saya, setiap siswa, baik berkebutuhan khusus maupun tidak, bisa berkembang sesuai kemampuan dan bakat mereka masing-masing. Dunia pendidikan seharusnya menjadi tempat di mana setiap anak merasa dihargai, didukung, dan punya kesempatan untuk bersinar. Kelas yang dulunya hening kini berisik, tapi bukan kebisingan tanpa arah—melainkan riuh kreativitas, rasa percaya diri, dan semangat belajar yang membara.

Seni telah menjadi jembatan yang menghubungkan hati, bakat, dan potensi setiap anak. Dan bagi saya, suara-suara yang kini memenuhi kelas adalah tanda nyata bahwa pendidikan bukan cuma tentang mengajar, tetapi memberdayakan—membantu setiap anak menemukan versi terbaik dari dirinya sendiri.

*) Penulis adalah Guru di SMA Negeri 21 Medan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *