Oleh: Dhea Nathania Kadarusman
Awal Oktober 2025, pemerintah mengumumkan rencana produksi bensin yang dicampur etanol 10% (E10). Langkah ini dianggap sebagai terobosan menuju energi yang lebih ramah lingkungan dan kemandirian energi nasional. Rencananya, kebijakan ini mulai diterapkan tahun 2026, tetapi baru bisa dijalankan jika infrastruktur dan masyarakat benar-benar siap. Pertanyaannya: apakah Indonesia sudah siap?
Campuran bensin dan etanol ini memicu banyak perdebatan. Di satu sisi, kebijakan ini menjanjikan manfaat besar — mulai dari mendorong ekonomi lokal, memperbaiki performa mesin, hingga mengurangi pencemaran udara. Namun di sisi lain, ada risiko yang perlu diwaspadai seperti potensi korosi pada mesin, meningkatnya konsumsi bahan baku, dan keterbatasan pasokan etanol di tahap awal. Tanpa penjelasan dan persiapan matang, kebijakan ini bisa menimbulkan masalah baru.
Dari sisi kedaulatan energi, kebijakan E10 bisa menjadi langkah strategis. Etanol dapat dibuat dari bahan lokal seperti tebu, singkong, dan jagung — tanaman yang banyak tumbuh di pedesaan. Jika kebijakan ini berhasil, petani akan diuntungkan, lapangan kerja baru terbuka, dan industri bioetanol bisa tumbuh pesat. Artinya, ini bukan sekadar urusan bahan bakar, tapi juga peluang untuk memperkuat ekonomi daerah dan memperkecil ketimpangan pembangunan.
Dampak positif lain datang dari sisi lingkungan. Campuran etanol bisa membantu mengurangi emisi karbon karena pembakarannya lebih bersih. Ini sejalan dengan target Indonesia untuk mencapai Net Zero Emissions pada 2060. Namun, manfaat ini hanya bisa tercapai jika proses produksi etanol dilakukan secara berkelanjutan — tidak merusak lingkungan atau mengorbankan keamanan pangan nasional.
Meski menjanjikan, tantangan teknisnya tidak kecil. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bahan bakar dengan etanol bisa menyebabkan karat atau merusak komponen kendaraan yang belum dirancang untuk itu. Selain itu, kapasitas produksi dan distribusi etanol di Indonesia masih terbatas. Jika diterapkan terburu-buru, bisa terjadi kelangkaan bahan bakar atau ketimpangan pasokan antarwilayah. Maka, kehati-hatian menjadi kunci utama.
Agar kebijakan ini berhasil, pemerintah perlu menyiapkan beberapa langkah penting. Pertama, memperkuat industri bioetanol dalam negeri, dari hulu hingga hilir. Kedua, melakukan uji coba E10 di wilayah tertentu untuk mengidentifikasi potensi masalah teknis dan logistik. Ketiga, mengedukasi masyarakat tentang cara penggunaan dan perawatan kendaraan berbahan bakar campuran ini. Dan yang tak kalah penting, memastikan harga E10 tetap terjangkau bagi masyarakat luas.
Pada akhirnya, E10 adalah langkah maju menuju energi bersih dan kemandirian nasional. Namun, keberhasilannya bergantung pada kesiapan nyata — baik dari sisi infrastruktur, ekonomi, maupun sosial. Jika dijalankan tanpa perencanaan matang, risiko seperti kerusakan mesin, hambatan distribusi, dan penolakan publik bisa menjadi batu sandungan. Tapi dengan perencanaan yang sistematis, pengawasan kuat, dan komunikasi terbuka, E10 bisa menjadi simbol perubahan: bahwa Indonesia siap tumbuh dengan energi yang lebih hijau, efisien, dan berkelanjutan.
Penulis adalah Mahasiswa Ukrida Jakarta, Program Studi Psikologi