Narasi Bahagia yang Tak Selalu Riang

Bagikan Artikel

Oleh: Elkelvin Wuran

Pada awal Oktober 2025, publik dikejutkan oleh pernyataan Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, yang mengklaim bahwa Indonesia dinobatkan sebagai negara paling bahagia di dunia. Klaim ini dikaitkan dengan hasil penelitian berjudul Global Flourishing Study (GFS), yang disebut sebagai riset kerja sama antara Harvard University dan Gallup Organization, melibatkan lebih dari 200 ribu responden di 23 negara. Menurutnya, survei tersebut menempatkan masyarakat Indonesia di posisi puncak dalam hal kebahagiaan dan kesejahteraan hidup.

Namun, hasil resmi dari Global Flourishing Study 2023 dan laporan tahunan Gallup Global Emotions Report 2024 justru menunjukkan data yang berbeda. Dalam laporan Gallup, Indonesia berada di peringkat ke-67 dari 143 negara dalam Positive Experience Index, yaitu indeks yang mengukur emosi positif sehari-hari seperti tawa, rasa dihormati, dan ketenangan. Posisi tersebut menunjukkan bahwa klaim “Indonesia negara paling bahagia di dunia” tidak memiliki dasar empiris yang kuat. Bahkan menurut World Happiness Report 2024, Indonesia menempati posisi ke-80 dunia, jauh di bawah negara-negara Skandinavia yang selama bertahun-tahun konsisten berada di peringkat atas.

Fakta ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah klaim tersebut murni kesalahan interpretasi terhadap data, ataukah bagian dari strategi komunikasi publik untuk membentuk citra positif pemerintah di tengah masalah pelayanan publik dan ketimpangan sosial yang masih tinggi?

Kebahagiaan kini bukan sekadar persoalan psikologis, melainkan telah menjadi alat politik. Banyak pemerintahan di dunia menjadikan indeks kebahagiaan sebagai simbol keberhasilan pembangunan. Dalam konteks ini, klaim kebahagiaan berlebihan dapat dibaca sebagai bentuk propaganda optimisme — sebuah cara untuk meneguhkan citra bahwa negara telah berada di jalur yang benar.

Pemikiran ini sejalan dengan gagasan Noam Chomsky, seorang linguis dan pemikir politik asal Amerika Serikat, dalam bukunya Manufacturing Consent (1988). Chomsky menjelaskan bahwa dalam sistem demokrasi modern, propaganda tidak lagi dilakukan dengan paksaan, melainkan melalui produksi informasi yang membuat masyarakat “setuju secara sukarela” terhadap sistem yang ada. Dengan kata lain, ketika publik terus-menerus diberi pesan bahwa “kita bangsa paling bahagia”, maka ruang untuk mempertanyakan kualitas pelayanan publik, pemerataan ekonomi, dan kebebasan sipil perlahan menyempit. Rasa puas semu menggantikan kesadaran kritis.

Pemikiran Chomsky ini berkelindan dengan teori hegemoni dari Antonio Gramsci, seorang filsuf asal Italia. Gramsci menegaskan bahwa kekuasaan bertahan bukan karena represi, melainkan karena dominasi ideologis — yakni kemampuan elite untuk membuat pandangan dunia mereka diterima sebagai kebenaran umum. Dalam konteks Indonesia, narasi kebahagiaan dapat berfungsi sebagai hegemoni yang menenangkan: masyarakat diyakinkan bahwa kondisi sosial ekonomi sudah baik, sehingga tuntutan perubahan struktural dianggap tidak mendesak.

Padahal data objektif menunjukkan realitas yang berlawanan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat kemiskinan nasional pada Maret 2024 masih berada di angka 9,36 persen, dengan ketimpangan pendapatan (rasio Gini) sebesar 0,388 — menunjukkan jurang kaya dan miskin yang belum menyempit secara signifikan. Selain itu, laporan keuangan BPJS Kesehatan tahun 2023 menunjukkan defisit mencapai Rp7,9 triliun. Indikator-indikator ini memperlihatkan bahwa kesejahteraan sosial belum seimbang, dan klaim kebahagiaan ekstrem tampak seperti upaya menutupi fakta tersebut dengan narasi simbolik.

Mengembalikan Makna Bahagia ke Akar Sosial

Untuk mengoreksi kesenjangan antara narasi dan realitas, kita perlu mengembalikan makna kebahagiaan ke akar sosialnya. Kebahagiaan seharusnya tidak ditentukan oleh lembaga survei global yang menggunakan parameter seragam lintas budaya, melainkan oleh kondisi konkret masyarakat sendiri. World Happiness Report 2024 mencatat bahwa kebahagiaan masyarakat dunia dipengaruhi oleh lima faktor utama: dukungan sosial, pendapatan layak, kebebasan menentukan hidup, kepercayaan terhadap institusi, dan tingkat korupsi.

Jika kelima faktor ini diterapkan dalam konteks Indonesia, tampak bahwa sebagian besar masih belum tercapai secara merata. Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2023 turun menjadi 79,26 dari tahun sebelumnya, menandakan penurunan partisipasi publik dan kebebasan sipil. Sementara itu, skor Indeks Persepsi Korupsi (CPI) dari Transparency International untuk Indonesia pada 2024 berada di angka 34 dari 100, menempatkan kita di posisi 115 dunia — jauh di bawah rata-rata global. Dalam hal pendapatan, data BPS menunjukkan bahwa pengeluaran per kapita riil masyarakat di sebagian besar provinsi masih di bawah Rp1,5 juta per bulan.

Dengan kondisi tersebut, kebahagiaan seharusnya dipahami bukan sebagai angka di laporan, tetapi sebagai hasil dari jaminan sosial yang kuat, rasa aman, dan kesempatan hidup yang adil. Pemerintah perlu membangun indikator kebahagiaan nasional yang sesuai dengan karakter sosial-budaya Indonesia — bukan mengandalkan ukuran global yang bias terhadap konteks Barat. Kebijakan publik perlu diarahkan pada pemenuhan hak dasar: kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup, dan partisipasi politik yang bermakna. Kebahagiaan yang sejati hanya bisa tumbuh bila negara hadir secara konkret dalam menjamin kesejahteraan, bukan sekadar memproduksi citra.

Bahagia Bukan Propaganda

Dalam perspektif Michel Foucault, pemikir asal Prancis, setiap sistem kekuasaan menciptakan apa yang ia sebut sebagai regime of truth — yaitu seperangkat “kebenaran resmi” yang ditentukan oleh mereka yang berkuasa. Klaim kebahagiaan nasional dapat dipahami sebagai bagian dari politik kebenaran ini: negara mendefinisikan sendiri realitas sosial untuk mengukuhkan legitimasi politiknya. Di saat yang sama, masyarakat perlahan kehilangan kemampuan untuk membedakan antara fakta empiris dan narasi simbolik.

Filsuf Jerman Herbert Marcuse, dalam karyanya One-Dimensional Man (1964), menyebut kondisi ini sebagai “kebahagiaan semu”. Ia menggambarkan masyarakat modern sebagai manusia berdimensi tunggal — merasa puas karena berhasil menyesuaikan diri dengan sistem, padahal secara struktural tetap tertindas. Dalam konteks ini, kebahagiaan bukan lagi cerminan kesejahteraan sejati, melainkan hasil dari adaptasi psikologis terhadap kondisi yang tidak adil.

Pemikiran Frantz Fanon, tokoh poskolonial asal Martinik, juga relevan. Dalam The Wretched of the Earth (1961), Fanon menjelaskan bahwa bangsa pascakolonial sering kali terjebak dalam mimikri — kecenderungan untuk meniru dan mencari pengakuan dari bekas penjajah. Ketika pejabat Indonesia lebih bangga karena “diakui Harvard” ketimbang karena data kesejahteraan nasional yang membaik, kita melihat bentuk baru dari ketergantungan simbolik terhadap Barat.

Pada akhirnya, kebahagiaan tidak dapat direduksi menjadi strategi komunikasi. Ia bukan hasil dari survei global, tetapi cerminan dari kualitas hidup yang nyata: lingkungan yang sehat, pelayanan publik yang manusiawi, dan kesempatan yang adil bagi setiap warga negara.

Seperti halnya kebenaran, kebahagiaan tidak perlu diumumkan dengan gegap gempita. Ia akan tampak sendiri ketika kehidupan sehari-hari menjadi layak untuk dijalani. Karena itu, tugas negara bukan membuat rakyat terlihat bahagia, melainkan menciptakan kondisi di mana kebahagiaan itu bisa tumbuh — pelan, mendalam, dan tanpa propaganda.

Elkelvin Wuran, warga NTT berbasis di Kupang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *