Oleh: Stella Godiva Amanda
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, bahkan terbesar di Asia Tenggara. Dalam arti sederhana, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun, belakangan ini, makna demokrasi di Indonesia seolah mulai pudar—terutama jika kita melihat kondisi kebebasan pers yang semakin memprihatinkan.
Laporan Reporters Without Borders (RSF) tahun 2025 menunjukkan peringkat kebebasan pers Indonesia turun drastis ke posisi 127 dari 180 negara. Tahun sebelumnya, Indonesia masih berada di peringkat 111. Skor kebebasan pers juga menurun dari 51,15 menjadi 44,13 poin, dan dikategorikan “sulit”. Penurunan ini jelas menjadi sinyal bahaya bagi kebebasan berekspresi di negeri ini.
Fakta di lapangan memperkuat data tersebut. Kasus peretasan akun jurnalis, pencabutan kartu liputan, ancaman hukum lewat UU ITE, hingga kekerasan fisik saat liputan semakin sering terjadi. Publik masih ingat kasus jurnalis bernama Diana yang dicabut ID liputannya setelah menanyakan isu keracunan massal dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) kepada Presiden Prabowo Subianto. Ada juga kasus dugaan pembunuhan terhadap jurnalis oleh oknum anggota TNI AL pada Maret 2025. Bahkan redaksi Tempo pernah diteror dengan kiriman kepala babi dan bangkai tikus di depan kantor mereka.
Data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat lebih dari 80 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang 2024. Ironisnya, sebagian pelaku justru berasal dari pihak yang seharusnya melindungi.
Situasi ini memperlihatkan bahwa fungsi media sebagai pengawas kekuasaan semakin dilemahkan. Dalam sistem demokrasi, media bukan hanya penyampai berita, tetapi juga pengontrol kebijakan publik dan penjaga moral bangsa. Namun, ketika media dibungkam, publik pun kehilangan hak untuk tahu. Kita mungkin masih punya banyak media, tapi tanpa kebebasan, mereka hanya menjadi pengeras suara penguasa.
Masalah kebebasan pers juga diperparah oleh tekanan ekonomi. Banyak media lokal kesulitan bertahan karena menurunnya pendapatan iklan, sementara biaya operasional meningkat. Akibatnya, beberapa media terpaksa bergantung pada sponsor politik atau perusahaan besar. Ketika uang mulai mengatur arah pemberitaan, independensi pun terancam. Berita menjadi terlalu “aman” atau bahkan menutup mata terhadap masalah publik. Jurnalisme yang seharusnya menjadi alat kontrol sosial berubah menjadi alat promosi.
Ancaman lain muncul di dunia digital. Media sosial yang dulu diharapkan menjadi ruang demokratis kini berubah menjadi arena perang informasi. Algoritma lebih memprioritaskan konten sensasional dibandingkan berita faktual. Jurnalis yang kritis kerap menjadi sasaran serangan siber, doxxing, atau ujaran kebencian. Di sisi lain, masyarakat yang terus dibanjiri informasi sering kesulitan membedakan mana fakta, mana opini, mana berita, dan mana hoaks. Akibatnya, kebenaran jadi kabur dan kepercayaan terhadap media semakin menurun.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Pemerintah harus berhenti menganggap kritik sebagai ancaman. Undang-Undang ITE perlu segera direvisi agar tidak terus digunakan sebagai alat pembungkam. Negara seharusnya menjadi pelindung, bukan musuh bagi jurnalis. Di sisi lain, media juga harus memperkuat integritas, menjaga etika jurnalistik, dan meningkatkan kualitas liputan agar kepercayaan publik kembali tumbuh.
Masyarakat pun punya peran besar. Kita perlu mendukung kerja jurnalis dengan menolak hoaks, menghargai berita berbasis fakta, dan tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang belum jelas kebenarannya.
Menjaga kebebasan pers bukan hanya tanggung jawab jurnalis, tapi juga tanggung jawab kita semua. Demokrasi tanpa pers yang bebas ibarat tubuh tanpa mata—bisa berjalan, tapi buta arah. Pembangunan, kemajuan ekonomi, atau infrastruktur tak akan berarti apa-apa jika kebebasan berekspresi mati. Melindungi kebebasan pers berarti melindungi hak kita untuk tahu, berpikir, dan bersuara.
Selama suara jurnalis masih dibungkam dan kerja mereka terancam, sesungguhnya kita belum benar-benar merdeka.
Penulis adalah Mahasiswa Ukrida, Jakarta, Prodi Psikologi.